“Vergangenheitsbewältigung”




“Vergangenheitsbewältigung”
                                                Oleh: Bambang Putra Ermansyah                                                               
            Hubungan Internasional 2012            


 Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            
 Kata yang jika diucapkan secara salah akan membuatnya terdengar seperti racauan. itu pertama kali aku temukan ketika membaca tulisan Theodor Adorno,  seorang filsuf, sosiolog, psikolog dan komposer musik. Perkenalanku dengan Adorno sebenarnya berawal dari usahaku untuk memperluas perbendaharaan filsafat musik, sehingga bertemu dengan tulisan beliau pada tahun 1949 yang berjudul “Philosophy of New Music”. Kemudian, One thing leads to another, justru membuatku dipertemukan dengan tulisan beliau yang lain dengan judul “The Meaning of Working Through the Past”, atau dalam bahasa aslinya ; Was bedeutet : Aufarbeitung der Vergangenheit.
            Vergangenheitsbewältigung  sendiri adalah sebuah terma yang jika aku translasikan ke Bahasa Indonesia kira-kira adalah : “berdamai dengan masa lalu”. Vergangenheitsbewältigung merupakan sebuah terma yang muncul di Jerman pasca Perang Dunia 2, sebagai sebuah usaha untuk berdamai dengan realitas sejarah berupa kekejaman Nazi dan peristiwa Holocaust, momen sejarah berupa bencana genosida terhadap bangsa Yahudi di dataran Eropa. Intinya adalah tentang mengakui secara sadar kesalahan masa lalu sehingga dapat diambil pelajaran untuk masa kini agar tidak terulang di masa depan. Usaha seperti ini juga ditemukan dalam narasi yang dibangun negara-bangsa lainnya, sekalipun tidak secara langsung menggunakan terma yang sama. Sebut saja usaha pengakuan sejarah dan keinsafan atas politik apartheid di Afrika Selatan, hingga usaha Jepang untuk mengakui dan “menginsafi” kejahatan perang mereka di Perang Dunia 2.
Sekalipun, Adorno sendiri kurang sependapat dengan terma ini. Dirinya menganggap bahwa terma tersebut justru bertujuan untuk membuat terlupanya sejarah terkait, sehingga tujuan untuk memetik pelajaran dan menjadi dasar refleksi diri akan sirna pula. Melupakan masa lalu yang buruk dianggap tidak rasional oleh Adorno, sekalipun dapat dipahami secara psikologis, karena tidak ada satupun manusia yang dengan kesadaran penuh memilih untuk hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Jika mengutip Adorno secara langsung : “.... karena masa lalu yang ingin dihindari oleh seseorang justru adalah masa lalu yang masih sangat hidup”.
            Namun, pada akhirnya manusia adalah makhluk yang menggantungkan realitas sosialnya pada persepsinya atas kata dan bahasa. Maka, alih-alih turut serta dalam perdebatan tepat atau tidaknya terma tersebut,  aku lebih memilih untuk mengambil semangat yang terkandung dalam istilah yang bagi “lidah nasionalku” terdengar seperti racauan tersebut. Bagiku, entah terma apa yang tepat untuk menyebutkannya, namun kepahaman atas semangat “berdamai dengan sejarah sehingga bisa memetik pelajaran darinya” adalah hal yang terpenting, dan hal tersebutlah yang sejatinya diadvokasikan oleh para bijak bestari terlepas dari setuju atau tidaknya dengan terma yang harus dipakai.
            Dalam perspektifku, sejarah adalah sebuah realitas sosial yang menjadi konsekuensi atas eksistensi waktu, yang merupakan sebuah makhluk berupa konsep ciptaan Allah. Bagiku, konsep waktu adalah konsep yang mengagumkan, karena yang relatif darinya tidak hanya sebatas lajunya, namun juga pengaruh serta nilainya terhadap hal-hal diluar waktu itu sendiri, salah satunya adalah  manusia. Berdasarkan teori relativitas waktu yang dirumuskan Einstein, kita memahami bahwa “laju” waktu dapat berbeda. Namun, bagiku relativitas waktu tidak berhenti sampai disana, namun berlanjut pada persepsi manusia terhadapnya dan dampak atas persepsi yang berbeda tersebut. Konsep waktu   menjadi jauh lebih mengagumkan jika kita “mengamini” pemaparan Stephen Hawking dalam memandang waktu berdasarkan perangkat disiplin mekanika kuantum. Mudahnya aku dapat membahasakannya begini : Waktu adalah sebuah konsep yang muncul bersamaan dengan ruang. Jika ingin dipahami dengan “kesadaran Qur’ani”, maka waktu adalah sebuah konsep yang diciptakan oleh Allah bersamaan dengan terciptanya alam raya, sehingga waktu sama tuanya dengan alam raya ciptaan Allah ini. Secara serta merta menolak pendapat Carlo Rovelli, seorang theoretical physicist, yang menyebutkan bahwa waktu hanyalah ilusi yang muncul secara naif dari persepsi manusia dalam memandang realitas yang “mewujud”.



                                           foto dari: https://pesantrenalmuhajir.files.wordpress.com/2010/06/jam-gj.jpg

            Bagiku, sebagaimana waktu, sejarah pun memiliki sakralitasnya sendiri. Sakralitas sejarah berada pada realitas kompleks multi-dimensi yang dikandungnya. Sebagaimana hal-hal sakral lainnya, maka sejarah pun telah ternodai oleh berbagai hal diluarnya, entah itu politik, ideologi, kepentingan, harga diri, kesombongan, hingga ketidaktahuan. Dan entah anda setuju atau tidak, dalam pandanganku, kegagalan kaum Muslimin dalam berdamai dengan sejarah adalah satu bagian integral dari loss of adab yang dipercaya oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas (yang bisa aku sebut sebagai filsuf Muslim terbesar di zaman ini) sebagai akar dari permasalahan yang dihadapi oleh kaum Muslimin.
            Pandanganku berpijak pada beberapa realitas sosial yang bergejolak di tatanan masyarakat Muslim hari ini. Masih banyak individu-individu Muslim, setidaknya dalam pandangku, telah gagal berdamai dengan masa lalunya, baik itu masa lalu yang “gilang gemilang”, atau masa lalu yang “hina dina”. Aku bisa mencontohkan dengan sangat sederhana : ketika kaum Muslimin dihadapkan pada realitas sejarah berupa penjajahan atas mereka selama berabad-abad, kaum Muslimin cenderung memandang hal ini dari satu dimensi, yakni dimensi luar.
            Penjajahan yang menyiksa sebagian besar kaum Muslimin selama berabad-abad, dipersepsikan oleh sejarah yang mereka terima dan genggam sebagai sebuah kesalahan aktor-aktor diluar Islam, yakni penjajahnya itu sendiri, sebagai dalang atas luka sejarah yang sulit mengering tersebut. Hal ini pun mengakibatkan kebencian yang enggan untuk hilang dari ingatan kolektif sebagian besar kaum Muslimin, menimbulkan berbagai rasa benci irasional, sentimen negatif, hingga -yang paling konyol- seperangkat besar teori-teori konspirasi yang semakin hari semakin menjamur –dan absudrd- saja.
            Hal ini berdampak pada luputnya kesadaran kolektif pada kaum Muslimin bahwa jatuhnya sebagian besar dari kita kepada cengkeraman penjajah, justru berawal dari diri kita sendiri, sebagai sebuah kesatuan tubuh bernama “umat Islam”. Terpisahnya antara dimensi esoteris dan eksoteris peribadatan dan ajaran Islam, dalam pandangan Imam Ghazali misalnya, menjadi salah satu aspek yang sangat mengkhawatirkan beliau. Sangat mengkhawatirkan sehingga Imam Ghazali merasa perlu untuk menyusun sebuah kitab magnum opus yang bertujuan untuk kembali mempertemukan dua dimensi peribadatan yang telah lama terpisahkan tersebut, dengan sebuah kitab yang kini dikenal dengan Ihya ‘Ulumuddin.
Bahkan, jika kita melihat pada dalil-dalil naqliyyah pun, Rasulullah jelas-jelas menyiratkan hal ini dalam hadits beliau, “Hampir tiba waktunya saat umat-umat lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana orang-orang lapar memperebutkan hidangan.”
Ada yang bertanya, ‘Apa karena jumlah kami yang sedikit?”
Rasulullah menjawab, “Justru jumlah kalian sangat banyak, namun kalian bagaikan buih lautan. Sungguh, Allah akan mencabut rasa takut pada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan pada kalian penyakit wahn.”
Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rasulullah?”
Beliau pun menjawab “Cinta dunia dan takut mati.”
Sehingga dari hadits diatas, kita bisa memahami bahwa “kemunduran” dan “ketertindasan” umat Islam jauh lebih disebabkan oleh faktor internal alih-alih eksternal, dimana penjajahan dan penindasan yang dialami oleh kaum Muslimin lebih kepada akibat alih-alih sebab. Banyak dari kaum Muslimin yang telah gagal dalam berdamai dengan sejarah pahit tersebut, berusaha memendam kenyataan bahwa hal yang kita alami adalah berpangkal pada kesalahan kita sendiri, sehingga kemudian justru berujung pada memelihara kebencian sehingga terselubung bagi mereka masalah sesungguhnya.
Gagalnya kaum Muslimin dalam berdamai dengan sejarahnya sendiri dalam rupa permasalahan internal, baik dalam aspek teologis, pedagogis, peribadatan, hingga hubungan antar komunitas internal kaum Muslimin, menyebabkan visi kaum Muslimin atas realitas dan eksistensi mereka menjadi kabur. Muncullah kelompok-kelompok nestapa yang marah semacam ISIS, Boko Haram, hingga Al Qaeda. Kegagalan kaum Muslimin dalam berdamai dengan sejarah pahitnya berupa kesalahan-kesalahan internal yang memancing bencana dari eksternal telah mengakibatkan pula kegagalan kaum Muslimin dalam memahami permasalahan fundamental kekinian yang dihadapi (atau masih dihadapi) dalam tatanan masyarakat dihadapan mereka. Kegagalan memahami permasalahan fundamental kemudian mengakibatkan kesalahan menentukan kerangka dasar maupun strategi dalam menghadapi realitas yang dihadapi.
Permasalahan yang dipahami banyak kaum Muslimin di kepala mereka tidak tepat dan sesuai dengan permasalahan sesungguhnya yang terjadi dalam realitas sosial kaum Muslimin. Hal ini pun diperparah oleh kalangan-kalangan pendakwah dengan mendakwahkan problema-problema kaum Muslimin yang sesungguhnya hanya ada di kepala mereka. Menyebarkan kerisauan, ketakutan dan mara bahaya yang hanya ada dalam imajinasi mereka, sementara permasalahan sesungguhnya tidak tersentuh. Karena imajinasi akut, apalagi yang dibumbui oleh nalar-nalar keliru dalam memahami dalil prophetic, memiliki kecenderungan besar untuk menutupi realitas. Sehingga, alih-alih sebagaimana Imam Ghazali yang menuliskan sebuah maha karya yang menyentuh permasalahan mendasar tersebut hingga kemudian menjadi dasar pedagogis persiapan generasi kedepannya untuk mengobati luka masa lalu, justru tergantikan oleh trend-trend aneh berupa semakin berminatnya banyak dari kaum Muslimin dengan kajian-kajian konspiratif tanpa dasar yang jelas.
Sehingga, ketika usaha Imam Ghazali pada akhirnya berujung pada kemenangan kaum Muslimin di Perang Salib (Shalahuddin Al Ayyubi adalah pengagum karya Imam Ghazali dan selalu membawa Ihya’ kemanapun beliau berpindah), usaha gagal dalam menyentuh akar permasalahan berupa kajian-kajian konspiratif hanya berujung pada kaum Muslimin yang puas hasrat intelektualnya ketika berhasil “membuktikan” (dengan menghubungkan dan mencocokkan berbagai aspek) bahwa Si A dan Si B adalah antek Iblis Dajjal Illuminati yang secara sadar lagi sukarela menjadi pangkal masalah kaum Muslimin.
Mau sampai kapan?

Semoga Bermanfaat Ikhwafillllah..
Wassalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEPSEN PAMIT : Kesan Pesan Demisioner LSMI Almadani 2019

Mereka yang Berhijrah tanpa Menyentuh Bangku Pesantren