Mempelajari Kisah Qarun
Dalam obrolan keseharian, kita pasti sering mendengar kalimat-kalimat seperti, "Engkau telah
mendapat harta karun," atau "Bila saya memperoleh harta karun, saya akan kaya." Hal
ini bahkan sudah didapati sejak dari kanak-kanak, dengan kisah-kisah raja-raja
kaya atau bajak laut yang berlayar mengarungi lautan dalam pencarian harta yang
jumlahnya banyak. Hal ini menjadi lumrah bagi masyarakat pada umumnya.
Istilah harta karun sendiri, bagi masyarakat kita diadopsi dari nama
seorang kaya yang hidup di masa Nabi Musa. Di dalam Islam, tepatnya dalam al-Qur’an
surat al-Qashash ayat 76 dijelaskan bahwa Qarun merupakan kaum dari Nabi Musa. ‘Aly
bin Nayyif Asy-Syahud, pengkaji al-Qur’an dan as-Sunnah dalam bukunya Durusun wa ‘Ibranun min Qishati Qorun
yang diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Menjadikan Harta Lebih
Berkah, Menuai Hikmah dari Kisah Qarun mengulas tentang kandungan ayat ini. Menggunakan
metode penggalian makna umum dari kandungan ayat tersebut, terdapat hikmah yang
dapat diambil dari ulasannya.
Qarun merupaka umat Nabi Musa. Allah telah memberinya harta yang
melimpah. Perbendaharaan dan jumlah harta yang dimiliki Qarun pun bahkan
kunci-kunci penyimpanannya saja tak sanggup untuk dipikul oleh sejumlah
laki-laki yang kuat. Kuat di sini, ada ulama yang mengartikan bahwa ukuran
kunci yang besar, sehingga membutuhkan pemikul kunci yang berbadan besar juga.
Namun, ada juga yang mengartikan bahwa kunci-kunci tersebut sebagai ilmu dan
mekanisme kunci yang rumit, sehingga pemikul kunci yang dimaksud adalah kuat
pengetahuannya. Tapi para ulama selaras dalam menafsirkan bahwa harta yang
banyak yang dianugerahkan pada Qarun berjumlah banyak.
Kekeliruan yang dilakukan oleh Qorun adalah sikapnya kepada kaumnya
sendiri. Qarun yang hidup di tengah masyarakat justru bersikap aniaya pada
kaumnya. Ia tidak menjaga etika dalam menjalankan kehidupan dikarenakan
banyaknya harta yang ia punya dinilai akan mencukupi kebutuhan apapun yang ia
inginkan. Ia berbuat lalim terhadap tetangga, serta menaruh kesombongan di atas
kezalimannya. Hal ini tak lain merupakan buah pemikirannya bahwa harta yang ia
punya adalah hasil dari kehebatan dan kepintaran yang ia dapati.
Qarun bukan tak diperingatkan atas kezaliman dan sikap sombong yang
muncul dihatinya oleh kaum yang beriman. Ia telah diingatkan sesuai terjemahan
dari ayat tersebut, “ingatlah ketika kaumnya berkata memberi nasihat dan arahan
kepadanya, ‘janganlah kamu terlalu bangga.’” Qarun menanggapi nasihat tersebut
dengan sikap sombong, membanggakan diri, serta berlaku zalim dan aniaya. Sikap
tersebut turut diperburuk oleh Qarun dengan pernyataan, “sesungguhnya aku hanya
diberi harta karena ilmu yang ada padaku.”
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Qarun secara terang-terangan
melakukan pengingkaran atas kuasa Allah yang telah menganugerahkan harta dan
ilmu itu sendiri. Ia memberi kesan bahwa kemuliaan yang ia punya melalui harta
dan ilmu adalah hasil dari kerja keras yang ia usahakan. Sifat takkabur yang timbul dari kesombongan
dalam diri Qarun menimbulkan kemurkaan Allah.
Banyaknya harta yang dimiliki oleh Qarun tidak hanya menjadikan ia
serba berkecukupan dalam hal materi. Harta yang banyak tersebut juga menjadi
fitnah besar baginya. Hal ini dijelaskan Allah dalam ayat ke 79, “maka
keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah
orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘moga-moga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar.’”
Qarun menjadi fitnah berjalan dalam konvoi keindahan-keindahan dunia.
Ia keluar kepada kaumnya dengan kemegahan besar yang ia miliki. Nafsu dan
syahwat dari kaumnya yang cemburu akan kemegahan yang dimilikinya menjadikan ia
sebagai sumber fitnah duniawi. Orang-orang yang melihat kemegahan yang ia
miliki menjadi timbul rasa angan-angan dalam diri mereka. Kesudahan bagi
orang-orang yang berangan-angan tersebut justru meimbulkan rasa iri hati,
hingga ghibah atas kemegahan Qarun.
Belum lagi bisikan-bisikan tentang lalim dan zalimnya sikap Qarun terhadap
kaumnya.
Bagi orang-orang beriman yang dianugerahi ilmu dalam dirinya, fitnah
Qarun tak menjadikan mereka berat hati. Bahkan, orang-orang yang berilmulah
yang memberi teguran pada siapa saja yang mulai timbul angan-angan dalam
hatinya karena kecemburuan terhadap Qarun. Semisal terjemahan ayat berikutnya,
“berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, ‘kecelakaan yang
besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman
dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang
yang sabar.”
Di akhir kisah tentang Qarun dalam ayat-ayat tersebut, Allah
membenamkan Qarun beserta hartanya ke dalam bumi. Tak ada sisa dari harta Qarun
serta jasadnya merupakan bentuk kehinaan yang ditimpakan padanya. Bentuk murka Allah
terhadap kesombongan dan kezaliman yang diperbuat oleh Qarun melalui harta dan
umat yang ada.
Dari kisah Qarun tersebut dapat kita ambil beberapa hikmah. Pertama,
tentang eksistensi Qarun. Ia bukanlah keluarga Nabi Musa. Hanya saja ia hidup pada
masa Nabi Musa. Sebab, keluarga Nabi Musa sendiri terdiri dari orang-orang yang
beriman berkat dakwah dan risalah yang ia bawa.
Kedua, kesombongan, kelaliman, kezaliman, serta durhakanya Qarun
menjadikan ia seorang yang hina di mata Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini dipertegas dibenamkannya Qarun beserta
hartanya ke dalam bumi. Sifat sombong, lalim, zalim, serta durhaka pada Allah
bisa menjangkiti siapa saja. Lebih jauh, sifat sombong menjadi sumber murka
Allah. Adanya sifat sombong di dalam dada menjadikan seseorang hina di dunia
dan di akhirat.
Ketiga, ada perbedaan besar antara orang yang beriman dan berilmu
dengan orang yang tak punya keduanya atau hanya salah satu saja. Hal ini
dijelaskan ketika mulai timbul angan-angan dalam hati orang-orang ketika
melihat harta Qarun. Keinginan untuk memiliki kekayaan yang sama menjadi impian
semu yang melekat dalam dada mereka. Bagi orang yang berilmu, harta Qarun
adalah sebuah fitnah, sebab ia tak menggunakannya di jalan ketaqwaan. Lebih
lagi, perilaku Qarun memperlihatkan bahwa harta yang dimiliki justru menjauhkan
ia dari rasa syukur.
Kisah Qarun menjadi sebuah pelajaran besar bagi siapa saja. Harta yang
dimiliki, baik besar ataupun kecil adalah anugerah Allah. Bila ia digunakan
sebagai bentuk ketaqwaan dan diperuntukkan pada hal-hal yang baik di jalan
Allah, ia akan menjadi berkah yang tak terkira. Berbeda bila harta tersebut
justru digunakan sebagai bentuk keingkaran atas nikmat Allah. Qarun dengan
keberlimangan hartanya menjadi terhina karena sifat yang dimurkai Allah
padanya.
Pekanbaru, 28 Mei 2015
Novaldi Herman
Novaldi Herman
Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Riau
#KidSyiar
Komentar
Posting Komentar