Perbaruilah Imanmu
Wahai saudaraku yang mulia, perbaruilah sealalu imanmu dari waktu ke waktu. Pembaruan ini sangat penting bagi setiap muslim umumnya dan para aktivis pada khususnya. Mengapa? Karena seorang aktivis muslim sangat mungkin disibukkan dengan amal dakwah, manajemen berbagai urusan dan kebutuhan, serta memikirkan semuanya. Atau juga disibukkan dengan banyaknya kerja nyata dalam amal islami ataupun upaya untuk menghadapi musuh dengan bermacam metode yang disyariatkan Islam. Amal-amal diatas sangat mungkin menyita waktu sehingga tiada lagi waktu bagi amal hati serta perhatian yang seharusnya diberikan kepadanya.
Sungguh, seorang muslim berjalan menuju Allah dengan hatinya, bukan dengan anggota badannya. Kedudukan anggota badan dalam kebaikan tidak lain dan tidak bukan adalah refleksi dari salehnya hati dan himmah-nya untuk melakukan kebaikan itu. Tersitanya waktu ini tentu dapat mengakibatkan taqshir, berkurangnya intensitas dan kualitas, sehingga akan berkuranglah sebagian dari makna iman batin dari hati dan keikhlasannya kepada Allah, misalnya. Mungkin saja pada suatu masa, seorang aktivis akan mencari-cari keikhlasan yang pernah dimilikinya di awal-awal iltizamnya.
Ada beberapa hal yang mungkin berkurang dari seorang aktivis. Kejujuran, keyakinan, kezuhudan, tawakal, khasyyah, inabah, ketundukan, dan mahabbahnya. Bisa saja seorang aktivis -setelah masa berlalu beberapa saat- mangandaikan kondisi hatinya dapat kembali seperti saat ia beriltizam pertama kali bersama para ikhwah. Semua ini hadir sebagai buah dari sikap meremehkan amalan hati.
Anda akan melihat-setelah masa berlalu beberapa saat- ada aktivis yang terlalu banyak mengobrol tanpa ada urgensinya, ada yang terlalu banyak melakukan hal-hal yang mubah semisal banyak makan dan banyak gaul tanpa ada mashlahat diniyah, banyak tidur dan malas, tidak mengupayakan manajemen waktu, serta membiarkannya berlalu tanpa ada faedah atau mashlahat syar'iyah. Ya, walaupun yang ia kerjakan bukan sesuatu yang haram atau makruh. Walaupun yang dikerjakannya termasuk sesuatu yang mubah, namun hal itu telah menyita banyak waktu tanpa ada imbalan diniyah atau bahkan imbalan duniawiyah.
Semua taqshir (kemalasan dan ketidakseriusan) ini disebabkan karena meremehkan perintah Rasulullah yang telah menyeru kepada setiap muslim -siapapun dia, apapun amalannya, dan setinggi apapun kedudukannya di dalam jamaah Islam- untuk memperbarui imannya. Beliau bersabda, "Perbaruilah din kalian." (HR. Ahmad)
Beliau juga sering bersumpah dengan mengucapkan kata, "Tidak, demi Dzat yang membolak-balikkan hati." (HR. Bukhari)
Saya telah banyak sekali mendapati fenomena 'futur' pada diri sebagian aktivis muslim atau keterpurukan mereka dalam kubangan syubhat dan syahwat disebabkan mereka kurang memperbarui iman. Dan ini adalah tanggung jawab bersama antara pribadi, qaid, dan jamaah itu sendiri.
Banyak pula kita jumpai aktivis-aktivis yang telah mencapai prestasi yang baik dalam beriltizam dan beramal di dalam Islam dan telah menghabiskan sebagian dari umur mereka untuk sesuatu yang penuh arti. Namun, tiba-tiba saja mereka terpuruk, berbalik 180 derajat. Semua itu menjadi suatu keniscayaan dikarenakan oleh taqshir dalam amal hati. Ya, bagaimana mungkin ia dapat berjalan menuju Allah sementara hatinya diam tak bergerak, berhenti ditengah jalan, dan bekal yang dimilikinya telah habis tanpa sempat mencari yang lainnya.
Bekalnya terdahulu telah habis bersamaan dengan sampainya ia ke satu jenjang tertentu dari perjalanannya menuju Allah. Kini tiada yang tersisa dan terpuruklah sang hamba di atas 'kesuksesan' yang menjerumuskan; tipuan syubhat dan hinanya syahwat.
Lebih dari itu, kebanyakan 'hambatan' yang muncul begitu saja menghadang seorang aktivis di tengah jalan, kebanyakan kembali kepada kurangnya amal hati dan kurangnya perhatian untuknya berkait dengan makna-makna iman. Hambatan internal itu bisa berupa cinta dunia, mementingkan diri sendiri yang menggantikan i'tsar, loba dan tamak yang menggantikan zuhud dan wara', keras dan kasar kepada orang-orang beriman yang menggantikan kasih-sayang dan lemah-lembut kepada mereka, memberikan loyalitas kepada orang-orang zalim yang menggantikan loyalitas kepada orang-orang beriman, 'ujub dan kibr (sombong) yang menggantikan tawadhu', serta tinggi hati yang menggantikan keikhlasan, padahal tanpa makna iman ini hati tidak akan hidup.
Semua kembali kepada sikap meremehkan masalah pembaruan iman, baik diri pribadi, qaid, maupun jamaah. Mereka semua bertanggung jawab dalam masalah ini.
Dalam salah satu kajian, saya dibuat terkagum-kagum oleh Syaikh saat dihadapan para ikhwan beliau menerangkan tafsir ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya." (An-Nisa': 136)
Beliau mengatakan, "Bagaimana bisa Al-Qur'an menuntut keimanan dari orang-orang yang beriman sedangkan mereka telah beriman? Bahkan khithab ayat tersebut berbunyi, 'Hai orang-orang yang beriman!' Apa sebenarnya makna iman yang dituntut oleh ayat ini?"
Beliau melanjutkan, "Sesungguhnya ayat ini menuntut mereka untuk senantiasa memperbarui iman karena iman memang memerlukan pembaruan dari waktu ke waktu."
oleh : Dr. Najih Ibrahim - Kepada Aktivis Muslim
Komentar
Posting Komentar