“Marilah kita meletakkan skenario hepotesis: Jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu,dan jika para ilmuwan  Muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi,  apakah mereka akan gagal mencapai apa yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton? Model-model planetarium Ibn al-Shatir dan astonomer-astonomer Muslim yang sekualitas Copernicus dan yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistim heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis Muslim, jika komunitas mereka terus eksis dibawah skenario hepotesis ini. Ahmad Y al-Hassan”



Islamic Worldview dan Studi Hubungan Internasional : Jawaban Terhadap “Kebingungan Filosofis” Barat
Abstact
This paper describes “Islamic Worldview” as a comprehensive and critical thought toward West Paradigm/Thought. The failure of West on creating civilized civilization (showed by some cases such as: double standart politics of United States, Liberalism, Materialism, Secularism, and Democracy, double standard implementation of Human Right and unconsistency of West Thought itself on describing nature and beyond). The critics is started by questioning the philosophical basis of West epistemology and what it cause to Human Civilization. After that, I will describes the Islamic Worldview on seeing the International Relations as a philosophical science. The existence of Islamic Worldview (on Political Tought) strengthen the Non-western Theory position on Internatonal Relations Studies. I even would say that Islamic Worldview can be an answer and solution on understanding the International Relations and World Civilization.
Keyword: Islamic Worldview, West Worldview, Liberalism, Epistimology, International Relations, Non-western Theory. Civilization
Pendahuluan
Seorang mahasiswa menulis di tembok kampusnya: “yang permanen adalah perubahan”. Esok harinya, mahasiswa lain menorehkan tanda kali pas di tengah tulisan itu, sebagai tanda penolakan, Lusanya, mahasiswa yang cerdas menulis di tembok yang sama tepat di bawah tulisan yang sebelumnya: “yang berubah tidak pernah permanen”.
            Di tempat lain, seorang liberal-ateis menulis kalimat di sebuah tembok kampus filsafat: “Tuhan telah mati, kata Nietzsche”. Mahasiswa yang tidak setuju dan marah menulis komentar: “yang nulis goblok”. Tapi esoknya, mahasiswa cerdas menorehkan coretan di bawahnya: “Niettzsche telah mati, kata Tuhan”.[1]
Tulisan ini dapat dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh mahasiswa cerdas di dua cerita unik sebelumnya. Islamic Worldview dalam kerangka teoritis dan komprehensif hadir saat ini sebagai bentuk sintesis dari dialektika paham sekularisme pada era post-modernisme dan beberapa paham sekularistik lainnya. Tulisan yang ada di hadapan pembaca sekalian merupakan sebuah critical analysis terhadap pemikiran Barat dalam memandang dunia sebagai sebuah worldview. Arah dari tulisan ini sebetulnya ingin membawa pembaca pada sebuah pemahaman bahwa Worldview Barat yang sangat “mesra” dengan Sekularisme sejak kelahirannya hingga sekarang gagal menjadi solusi bagi pembangunan peradaban yang beradab. Islam pun hadir sebagai Worldview yang komprehensif dan baik dari segi manapun.
Dari masa ke masa doktrin dan budaya paganism senantiasa terus bermetamoforsa dan bersenyawa dengan rasa manusia. Kemajuan Barat pun ikut melegitimasi menuntut perubahan segala hal yang berbau non-Barat, termasuk Islam. Islam tidak dipandang lagi dari sisi teologi, namun telah menjadi ranah filsafat, dan bahkan telah digeser ke “rumah-rumah” ilmu sosial. Hal ini menyebabkan terjadinya pengikisan pemahaman Islam yang komprehensif sebagai “Rahmatan Lil Alamin” segi aksiologi[2].
Lalu apa masalahnya dengan Studi HI dan Worldview Barat? Jawaban ada pada saat pertama kalinya Hubungan Internasional didirikan sebagai institusi akademik resmi tahun 1919, di Aberyswith, Inggris. Studi HI didirikan sesungguhnya untuk mengenalkan pada dunia tentang bahayanya sebuah perang serta bagiamana mencegah terjadinya peperangan di dunia. Namun, sejak kelahirannya hingga saat ini, Studi HI yang didominasi oleh pemikiran Barat dinilai tidak mampu mencegah perang dan mengatasi masalah-masalah kemanusiaan[3]. Tulisan ini pada bagian akhir akan menjelaskan Islamic Worldview dalam memandang Hubungan Internasioal sebagai salah satu instrumen pembangun peradaban.
Kemudian apa yang menjadi kebingungan bagi Worldview Barat khususnya dalam memandang Hubungan Internasional? Kebingungan ini bisa dimulai dari pandangan Thucydides[4] mengenai sejarah Perang Peloponesia dimana Hubungan Internasional didominasi oleh penindasan negara power besar terhadap negara power kecil. Thomas Hobbes[5], seorang Realis Klasik yang menyematkan predikat homo homini lupus bagi manusia yang selalu pesimis terhadap nilai-nilai kebaikan manusia dan juga Niccolo Machiaveli[6]dari Italia yang menyamakan manusia dengan Singa dan Rubah. Kemudian, juga kebingungan Idealisme Klasik bawaan Immanuel Kant[7], yang “bermimpi” untuk menciptakan “Perpetual Peace” di tengah-tengah maraknya peperangan yang terjadi. Kebingungan ini pun berlanjut ke arah pemikiran Strukturalis dan Marxis yang dibawa oleh Robert Gilpin, Habermas, dll ketika perdamaian dunia “dinodai” oleh penindasan terhadap kelas bawah (dari segi struktur sosial) dan Negara-negara Dunia Ketiga (dari segi struktur internasional). Akan tetapi “Revolusi” yang ditawarkan oleh aliran Strukturalis dan Marxis juga tidak memberikan solusi karena sampai saat ini paham sosialis-komunis telah meredup sempena dengan lahirnya tulisan “The End of History” karya Francis Fukuyama[8] dan “Clash of Civilization” karya Samuel P. Huntington[9].
Perjalanan panjang ini pun kemudian akhirnya melahirkan kebingungan baru saat munculnya sejumlah Worldview Barat yang juga baru seperti pandangan Post-Modernisme, Kosmopolitanise, dan Universalisme[10]. Globalisme dan Regionalisme juga turut andil dalam membahas peradaban manusia. Paham-paham ini senada dengan para English School yang mengemukakan bahwa seluruh manusia di dunia itu berada dalam satu kesatuan “International Society” sehingga harus ada norma yang satu, nilai yang satu, dan hukum yang satu. Sepintas ini terlihat meyakinkan dan menjanjikan perdamaian. Namun sekali lagi pandangan ini tidak pernah mencapai titik idealnya. Rumit dan kompleksnya identitas di seluruh dunia hanya menjadikan paham ini menempati posisi “Utopis” dalam kancah Worldview. Worldview yang dilahirkan oleh Barat secara epistimologinya seolah-olah menjauhkan kita dari ruang kebenaran tersebut. Apapun nama dan bentuknya (dimulai dari realis, idealis, strukturalis, konstruktivis, dan sebagainya) masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.
Pandangan-pandangan Barat yang ada saat ini terus menimbulkan kebingungan-kebingungan yang baru yang selalu mempertanyakan “Apakah memang dunia (hubungan internasional) selalu konfliktual dan  berperang?; Mengapa perdamaian selalu dinodai oleh standar ganda para kesatria-kesatria Demokrasi itu sendiri? Kalaulah memang Studi HI didirikan untuk menciptakan perdamaian dunia, mengapa justru kebenaran-kebenaran HI secara epistimologi dan aksiologi selalu dipatahkan oleh intrik politik penguasa?” Bahkan Martin Wight menulis sebuah essay yang berjudul “Why There is no International Theory? untuk menunjukkan kebingungannya dalam memahami Worldview dan Teori dalam Hubungan Internasional.
Tantangan Worldview Barat bagi Islam
Infiltrasi budaya Barat dengan agama telah mengubah kemutlakan Islam menjadi suatu hal yang bersifat relative sehingga boleh-boleh saja untuk di pertanyakan kembali keasliannya. Hal ini tentu wajar bagi kita jika Barat sangat bersemangat karena dari segi historisnya memang Barat pernah mengalami trauma terhadap agama, lebih tepatnya pada otoritas gereja yang pada saat itu terbukti menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Trauma massif ini melahirkan Renaissance, sebagai bentuk pencerahan terhadap umat manusia yang merasa disiksa oleh agama (Kristen dan otoritas gereja) mencipatakan tiga kelompok dalam memandang agama. Pertama, ingkar kepada Tuhan saja (ateis), ingkar pada Agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan secara eksistensiNya sekaligus (agnostic atau ragu-ragu)[11]. Agama dipandang sebagai hal yang dibenci karena mengekang kebebasan, termasuk Islam yang oleh Barat sampai saat ini dipandang sebagai musuh, baik secara pemikiran maupun secara politik[12].
Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Barat melakukan liberalisasi di segala lini. Dimulai dari budaya, politik, ekonomi, identitas, bahkan agama. Perjalanan liberalisasi agama bukanlah perjalanan yang tergolong singkat. Ia juga melalui banyak proses dan dialektika. Perjalanan ini diawali dengan paham paganis dan kemudian bermetamorforsa menjadi materialisme. Pasca abad pertengahan, materialisme berkembang menjadi rasionalisme dan liberalisme. Rasionalisme melahirkan pandangan ateisme, kemudian mendukung sofisme yang melahirkan pluralisme dan sekularisme. Liberalisme menjadi induk dari setiap postulat-postulat yang keluar dari rahim pemikiran Barat.
Klaim hegemoni pemikiran Barat sebagai worldview tentu tidak serta-merta menjadi paham yang paling dominan menyatakan kebenarannya. Kuatnya dasar filosofis Islam sebagai agama rahmat melahirkan sebuah konseptualisasi yang filosofis namun tetap menyentuh akar-akar permasalahan umat manusia. Islamic Worldview secara basis filosofis dan asal-usulnya telah ada sejak ajaran Islam diturunkan. Namun ia dihadir dalam kerangka akademis oleh cendikiawan-cendikiawan muslim yang masih memegang kuat nilai-nilai Islam tanpa infiltrasi dari paham manapun, terutama Barat.
Adian Husaini, salah seorang Intelektual Islam muda menyatakan: “Seseorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun diatas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan”[13]. Pernyataan ini menguatkan pandangan bahwa diperlukannya sebuah konsistensi akan landasan keilmuan yang mendasar. Jika kita kaitkan dengan tradisi keilmuan Islam, maka hal pertama yang menjadi sangat penting adalah keyakinan atas konsep ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ (Tauhid) dalam Islam serta mengikuti segala ketetapan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Islamic Worldview menekankan tauhid (berpegang teguh pada Alquran dan Hadis) sebagai landasan dalam berpikir.
Penulis menggunakan Islamic Worldview dalam memandang beberapa poin penting dalam tradisi keilmuan dan peradaban. Hal tersebut diantaranya: landasan filosofis, sumber ilmu pengetahuan, epistimologi ilmu, aplikasi, dan peradaban sebagai produk pengetahuan. Tulisan ini berusaha menempatkan Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang telah menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan manusia, yang mana, Barat sebagai worldview tidak mampu menempati posisi itu, bahkan ia mendirikan posisi baru yang secara keilmuan masih dipertanyakan keotentikannya.
Basis Filosofis Islamic Worldview
            Ilmu pengetahuan dari sudut filsafat memiliki cabang tersendiri. Terdapat tiga aspek diantaranya ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ontologi membahas mengenai “apa” yang dipelajari serta apa kaitannya terhadap manusia. Kemudian, epistimologi, membahas tentang segala kemungkinan bagaimana pengetahuan didapat, apa itu kebenaran? dan hal-hal apa yang perlu dipahami untuk mendapatkan illmu yang benar?. Terakhir, aksiologi, mengkaji untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan?[14]
            Berdasarkan pernyataan ini dapat dipahami bahwa filsafat bisa dimaknai sebagai ilmu yang mengkaji tentang sebuah kebenaran. Kebenaran ini dicapai melalui penelitian (research). Riset yang baik berarti harus memiliki landasan filosofis yang jelas sehingga pembenaran yang diciptakan bermafaat bagi kehidupan manusia. Filsafat seakan memiliki posisi tertinggi dari segala sesuatu yang mengusahakan konstruksi kebenaran. Sehingga wajar saja jika agama ‘turun derajatnya’ menjadi objek kajian dari filsafat.
            Namun, eksistensi dan kontinuitas agama yang berada dalam naungan filsafat tidak mengalami kesulitan dalam memberikan pemahaman tentang kebenaran. Islam sendiri sebagai “Rahmatan Lil Alamin” membuktikan sebutannya ini. Jika filsafat memiliki epistimologi dan metodologi dalam melihat dan mencari kebenaran, Islam pun memiliki metodologi dan epistimologinya tersendiri. Kebenaran menurut Islam bukanlah suatu hal yang dicari-cari, atau bahkan dibuat-buat. Ia sudah diturunkan dalam bentuk yang sempurna. Islam tidak pernah menyatakan bahwa kebenaran ada pada Tuhan, namun Islam menyatakan bahwa “kebenaran datang dari Allah (Tuhan)” sehingga manusia tidak perlu lagi mencari-cari dimana, siapa, dan apa-apa tentang kebenaran akan Tuhan karena Tuhan sendirilah yang mendatangkan kebenaran tersebut. Lalu apakah kebenaran dari Tuhan adalah benar adanya? Kebenaran tentang ini dapat kita dapat dengan mempelajari ciptaan-ciptaanya. Dan ini dijawab dengan lugas oleh metodologi dalam versi Islam.
            Pertama, Epistimologi Islam. Pertanyaan bagaimana proses untuk mendapatkan pengetahuan, serta tentang eksisitensi kebenaran itu sendiri dijawab dengan menggunakan prinsip “Tauhid”. Epistimologi Islam mengkaji asal-usul atau sumber dari Islam tentunya secara ilmiah. Dengan berlandaskan Tauhid sebagai paradigma dasar, maka Epistimologi Islam bersumberkan pada Alquran dan Sunnah. Selain itu juga pemikir-pemikir Islam menggunakan Observasi, Percobaan Empiris, dan Alasan Kemanusiaan dalam mengakaji Alquran dan Sunnah. Humanisme yang oleh Barat lahir pada Abad 19 awal ternyata sudah lama ditandzilkan Allah dalam Alquran. Legitimasi Islam dalam membicarakan Humanisme tentu lebih besar dibandingkan pemikiran Barat.
            Kemudian, bagaimana dengan Metodologi dalam Islam? Islam memiliki tiga sistem metodologi berfikir menurut Al Jabiri. Metodologi tersebut adalah Bayani, Irfani, dan Burhani[15]. Sistem Bayani dilandaskan pada nash (Alquran dan Hadis) yang ada baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui proses penafsiran dan pengkajian asbabun nudzul. Kemudian, ada sistem Irfani yang tidak bergantung pada nash namun ia bersandar pada terungkapnya rahasia-rahasia kebesaran Tuhan yang hanya didapatkan oleh nurani manusia sehingga dikemukaan secara logis kepada manusia lainnya (pengalaman-pengalaman spiritual). Dan terakhir, sistem Burhani, ia tidak bersandar pada teks, namun menggunakan kekuatan rasio dan akal yang logis. Ia bersandar pada pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
            Islam tidak memisahkan pengetahuan dari agama. Islam mengakui segala pengetahuan baik yang berasal dari wahyu, ataupun dari akal. Islam bahkan sangat menghargai ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat Alquran berisi perintah kepada Manusia untuk berilmu. Banyak juga ayat-ayat Alquran yang menempatkan orang-orang berilmu sebagai orang yang besar dan beruntung karena derajatnya yang ditinggikan[16]. Landasan ini telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam yang berkontribusi besar dalam membangun peradaban. Sebut saja Al-Khawarizmi yang menciptakan angka decimal sehingga manusia dalam menulis bilangan tiga ribu tiga ratus tiga puluh delapan dengan menggunakan angka “3838” tidak akan sesulit menulis “MMMDCCCXLVIII” yang merupakan huruf Romawi bentukan Barat yang rumit dan bertele-tele.
Bayangkan jika kita masih menggunakan angka Romawi, tentu peradaban manusia tidak akan maju-maju. Bukti ke empiris-normatifan pemikiran Islam sebagai motivasi agama dapat dicontoh dari Al-Khawarizmi yang menemukan angka decimal berdasarkan pada keinginannya untuk menyelesaiakan persoalan hukum warisan dan hukum jual beli[17]. Selanjutnya juga banyak terdapat ilmuwan-ilmuwan Islam lain yang berhasil membanguna peradaban manusia kepada kemajuan dengan tanpa melakukan pemisahan Agama dan Pengetahuan seperti Ibn Sina, seorang ahli kedokteran yang telah menghasilkan ratusan jilid tulisan pengetahuan tentang Ilmu Kedokteran, Filsafat, Geometri, Astronomi, Musik, Seni, dan lain-lain. Karya-karya pemikir Islam ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin dan disebarkan ke seluruh penjuru Barat. Ini berarti bahwa Barat dahulu pernah meniru pemikiran Islam.
Pada intinya, secara basis filosofisnya, Islam sebagai Worldview tidak diragukan lagi keotentikan dan keilmiahannya sebagai ilmu pengetahuan pemebentuk peradaban. Ilmu menurut Barat tidak seperti Ilmu menurut Islam yang memiliki maksud dan tujuan. Sedangkan Barat yang telah menggugat cerai manusia dari Tuhan, dan wahyu dari sumber ilmu tidak memiliki tujuan dan maksud. Ia membebaskan ilmu dari itu, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sehingga saat ini secara filosofis pemikiran-pemikiran Barat banyak menciptakan kontroversi-kontroversi yang mengotak-atik permasalahan manusia menjadi semakin rumit dan kompleks.
Konfrontasi Pemikiran Islam dan Pemikran Barat
            Islamic Worldview tidak hanya hadir sebagai pemecah masalah dan penyaluran solusi bagi peradaban manusia. Dengan bermodalkan basis filosofis yang kuat ia juga telah mengkritik Barat dari berbagai sisi. Kritik tersebut diantaranya ialah kritik terhadap epistimologi Barat, realtivisme, dan skeptisisme.
            Pertama, kritik terhadap Barat dari segi epistimologi. Metodologi Barat yang lahir pada zaman Yunani kuno adalah metodologi yang abstrak dan bersifat hiptesistik. Ia menggunakan pembentukan dan pengujian hipotesis namun menolak asumsi filosofisnya sehingga tidak memiliki maksud dan tujuan. Ia tidak mengenal wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan Eropa yang mengklaim bahwa metodologinya lebih terbuka, akurat, tepat, dan objektif serta netral. Namun klaim ini hanya sebatas pengamatan saja. Tidak ada pemraktekan sehingga tidak ada komitmen dan konsistensi dalam tradisi ilmu bangsa Barat.
            Alquran sangat komprhensif dalam membahas tentang ilmu pengetahuan. Ia menggabungkan pengamatan empiris dengan normatif sehingga tidak tejadi tumpang tindih antara penerapan dan pengamatan. Alquran membebaskan manusia dari segala keragu-raguan (tidak perlu hipotesis), membebaskan pikiran dari ketergantungan intelektual dan hawa nafsu. Perkara hukum dapat dilihat berdasarkan wahyu yang telah diturunkan. Untuk mencari tahu kebenarannya, dapat digunakan pengamatan empiris dan pertimbangan normatif. Alquran sebetulnya telah menyediakan fasilitas-fasilitas yang memudahkan manusia melalui prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan dalam mencari pengetahuan.
            Ziaudin Sardar menyebutkan sembilan ciri dasar epistimologi Islam yang tidak dimiliki Barat, antara lain:
1.      Didasarkan pada suatu kerangka pedoman yang mutlak.
2.      Bersifat aktif, bukan pasif.
3.      Objektivitas adalah perkara umum, bukan pribadi
4.      Bersifat deduktif sebagian besarnya
5.      Perpaduan antara pengetahuan dan nilai-nilai Islam
6.      Pengetahuan adalah saran inklusif
7.      Adanya komitmen dalam tradisi keilmuan
8.      Memadukan konsep-konsep dari  tingkat kesadaran, atau  tingkat pengalaman subjektif,  sedemikian  rupa  sehingga  konsep-konsep  dan  kiasan-kiasan  yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya.
9.      Tidak bertentangan dengan pandangan holistik.
            Wahyu sebagai hukum dasar dalam pemikiran Islam menjelaskan bahwa kebenaran sebetulnya sudah ada dan datang dari Tuhan sendiri. Pernyataan ini kemudian dikuatkan dengan asumsi bahwa apa yang diwahyukan merupakan suatu hal yang orisinil dan tidak memiliki kemiripan dengan satu hal manapun di dunia. Ia langsung dari Tuhan lewat perantara Malaikat Jibril. Begitu juga dengan Islam sebagai agama wahyu. Hal ini menguatkan pandangan bahwa selain Islam tidak ada agama lain yang terbukti keorisinilan basis-basis utamanya. Berikut adalah bukti-bukti Islam sebagai agama wahyu yang satu-satunya ada di dunia[18]:
1.      Diantara  agama-agama  yang  ada,  hanya  Islam-lah  yang  namanya  secara khusus disebutkan dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat  keagamaan  atau  oleh  manusia,  seperti  agama  Yahudi  (Judaisme),  agama  Katolik (Katolikisme),  agama  Protestan  (Protestantisme),  agama  Budha  (Budhisme),  agama  Hindu (Hinduisme),  agama Konghucu  (Konfusianisme),  dan  sebagainya.   Sedangkan  Islam  tidaklah demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd saw,  sudah disebutkan ada dalam a-Quran: "Sesungguhnya  agama  yang  diridhai  oleh  Allah  adalah  Islam."  (QS  3:19). "Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).
2.      Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas dan tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain.
3.      Dalam  soal  ritual,  Islam  saat  ini masih  tetap menikmati  ritual  yang satu,  karena  bersumber  dari  dasar  yang  sama,  yaitu Al-Qur‘an  dan  Sunnah. Umat Islam  tidak  mengalami  persoalan  untuk  shalat  di Masjid  mana  saja.  Umat  Islam takbir dengan  cara  yang  sama; membaca Al-Fatihah  yang  sama,  ruku‘ dengan cara yang  sama;  sujud  dengan  cara  yang  sama,  dan  seterusnya.  Ritual  Islam  ini  tidak tunduk kepada budaya atau perubahan sejarah.
Ciri khas epistimologi Islam inilah yang menjadi kekurangan dan celah besar bagi epistimologi Barat yang tidak bersumber dan bersifat inkomitmen. Sehingga wajar saja jika pada abad pertengahan terjadi masa kegelapan dimana otoritas gereja mengakibatkan trauma besar bagi Barat saat itu.
Kedua, kritik terhadap Relativisme dan Skeptisisme. Relativisme dan Skeptisisme lahir dari rahim Sofisme pada zaman Yunani kuno. Sofisme menganggap semua kebenaran adalah relatife. Slogan “semua adalah relative” terkenal sebagai slogan generasi postmodernist di Barat. Ia bagaikan firman tanpa Tuhan dan sabda tanpa Nabi. Seperti Undang-undang tapi tanpa penguasa[19]. Baik buruk, benar salah, sopan tidak sopan, porno tidak porno telah kehilangan batasannya. Semua karena relatif menurut pandangan masing-masing dan kesepakatan mayoritas.
Skeptisisme dan Relativisme bak dua orang saudara yang kembar tapi beda. Skeptisisme selalu mempertanyakan kebenaran yang ada, sedangkan Relativisme menganggap benar semua pendapat yang ada. Seorang yang skeptic akan meragukan kebenarannya dan membenarkan keraguannya. Kebenaran menjadi bias, semua pun dipertanyakan. Layaknya kisah seorang Yahudi yang mempertanyakan perintah Tuhannya untuk berqurban dengan pertanyaan yang mengada-ada dan berbelit-belit.
Relativisme dari sejarahnya lahir dari kebencian pemikir Barat modern terhadap agama. Barat yang trauma terhadap agama membenci dengan sangat sesuatu yang mutlak dan mengikat. Namun, kebencian tidak akan pernah melahirkan kearifan dan kebenaran. Dari sini kita dapat melihat ada yang salah dari basis filosofis pemikiran Barat. Tak ada lagi Sophia atau kebijaksanaan dalam filsafat Barat karena ia bersumber dari kebencian. Kebencian terhadap agama pun kemudian melebar menjadi keinginan untuk menguasi agama tersebut. Senjatanya ialah pluralisme dan ateisme. Pluralisme agama diklaim berada di atas agama-agama. Kemudian ini melahirkan “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions. Merasa benar menjadi makruh, merasa paling benar menjadi haram. Tidak merasa benar dan tidak apa salah (ragu-ragu) menjadi sebuah kebijaksanaan dan kearifan. Pantas saja jika saat ini muncul gerakan-gerakan “ngaur” seperti LGBT, Kesetaraan Gender, dan Pluralisme Agama.
Al Qur‘an melarang asal ikut-ikutan, prasangka dan keinginan pribadi. Dalam hidup  ini manusia  selalu dihadapkan pada dua pilihan, akan  tetapi  selalu  ada celah diantara dua pilihan tersebut yang membuat manusia ragu-ragu. Islam mengajarkan  manusia untuk meninggalkan hal yang  ragu-ragu dan memilih hal yang kita benar-benar yakini[20].
            Seperti yang disebutkan dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari; “Tinggalkan  apa-apa  yang  kau  ragukan,  kepada  apa  yang  tidak  kau  ragukan. Janganlah  kamu  berburuk  sangka,  karena  berburuk  sangka  itu,  ialah  sedusta dustanya percakapan.” Dan hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzy; “Kerjakan apa yang tidak kau ragu-ragukan, sesungguhnya kebenaran itu membawa ketenangan, dan dusta itu menimbulkan keragu- raguan.”.
Alquran sendiri telah menyatkan dalam Surat Al Baqarah bahwa tidak ada keraguan padanya. Kemudian juga dikatakan di dalamnya bahwa manusia dipersilakan mencari tandingan Alquran dengan sesuatu yang lain[21]. Lagi-lagi Islam menjawab problematika.
Dari  ayat  tersebut  terlihat  bahwa mempertanyakan  kebenaran  yang  ada  pada Al-Quran  dan Sunnah  sebagai hukum  dasar  dari  pengetahuan  Islam tidak sesuai dengan tradisi keilmuan Islam.  Ayat  diatas  telah  menyebutkan  jika  Allah adalah  benar  dan  Al-Qur‘an  yang  merupakan  wahyu  dari  Allah  pastilah  benar, mempertanyakan hal tersebut dilarang oleh agama.
Dalam berbagai kesempatan Allah mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar  (shawab) dan keliru  (khatha`),  sejati (shadiq)  dan palsu  (kadzib),  bagus  (hasanah)  dan  jelek  (sayyi`ah),  lurus  (hidayah) dan  tersesat (dlalalah) dan   masih banyak hal  lainnya yang harus ditentukan sendiri oleh manusia. Segala hal yang ditetapkan oleh Allah telah jelas mana yang baik dan mana  yang  buruk,  tidak  ada  celah  untuk  mempertanyakan  keadaan  yang  ada diantaranya karena hukum Allah adalah mutlak. Semuanya  itu mengajarkan kepada manusia bahwa kebenaran  itu ada dan mungkin untuk diraih melalui cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam[22].
Islamisasi Ilmu dan Membangun Peradaban
            Hegemoni Westernisasi dengan nilai-nilai liberal dan secular merupakan tantangan nyata bagi kaum Muslim. Kalimat ini telah dilontarkan sebelumnya oleh Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai bentuk peringatan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati. Namun banyak intelektual muda Islam yang mengabaikannya sehingga keadaan menjadi semakin sulit. Terjadi liberalisasi dimana-mana. Pakaian, gaya hidup, budaya, makanan, bahkan agama dan pendidikan pun tak tinggal. Islamic Worldview kemudian hadir sebagai obat penawar racun liberalism Barat.
            Westenisasi ilmu telah meresahkan kita. Lebih lagi ketika Westernisasi masuk ke dalam tubuh-tubuh institusi pendidikan di Indonesia. Masih teringat kita pada kejadian dimana seorang alumnus fakultas syariah IAIN Semarang menerbitkan tulisannya yang berjudul Agama, Seks, dan Moral. Singkat cerita, buku ini menghalalkan praktek seks bebas dengan atas nama sama-sama suka. Orang boleh melakukan seks bebas jika dilandaskan pada alasan yang demokratis. Selanjutnya juga terjadi kecaman terhadap MUI yang mengusulkan Rancangan UU tentang Pornografi dan Pornoaksi dengan alasan bahwa ini memperlihatkan kelemahan iman muslimin Indonesia. Selanjutnya, tak kalah hebohnya, ialah tulisan “cover story” di majalah resmi IAIN Semarang dengan berjudul “ Indahnya Pernikahan Sesama Jenis”. Jurnal ini melecehkan Al Quran dan mendapat izin terbit di kawasan kampus. Ini menandai bahwa liberalisasi atau weternisasi pendidikan telah merasuk secara structural di Indonesia.
            Bagaikan virus, westernisasi menodai pendidikan di Indonesia. Dalam liberalisasi  keilmuan  Islam,  dilakukan  proses  penghancuran otoritas  keilmuan  terhadap  para  ulama  Islam. Posisi  ulama  Islam  disamakan  dengan posisi kaum orientalis. Padahal,  ada  perbedaan  yang  sangat  mendasar  dalam  konsep  pengakuan otoritas keilmuan, antara Islam dengan Barat. Islam memasukkan unsur iman dan akhlak dalam  penentuan  otoritas  keilmuan  seseorang.  Dalam  Islam,  seorang  ulama  harus berilmu  tinggi dan sekaligus berakhlak mulia. Jika ada ulama yang bejat moralnya atau tukang bohong, maka dia  tidak patut dijadikan  sebagai  sumber  ilmu. Konsep keilmuan seperti  ini  tidak  berlaku  di  Barat.  Seorang  ilmuan  hanya  diukur  berdasarkan kecerdasannya;  bukan moralnya.  Banyak  ilmuwan  Barat  yang  tetap  dijadikan  rujukan dalam keilmuan dan kehidupan, meskipun perilakunya bejat[23].
Prof SMN Al Attas yang juga concern terhadap hal ini menawarkan sebuah konsep yang sama persis namun berbeda dari segi fundamentalnya. Penawar virus itu bernama Islamisasi Ilmu. Apa itu Islamisasi Ilmu? Secara sederhana, Islamisasi Ilmu berarti memasukkan nilai-nilai dan paham Islam ke dalam tubuh ilmu. Jika Ilmu tidak bebas nilai dan ia sarat nilai, maka dengan mengislamisasi ilmu dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien.
Islamisasi Ilmu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Ia harus berlandaskan pada “Tauhid” sehingga perlunya komitmen kuat dengan melandaskan wahyu sebagai sumber pengetahuan. Selain itu juga prinsip dasar dalam islamisasi ilmu harus bersifat “menyatukan” sehingga ia tidak memisahkan antara objektivitas, subjetivitas, historis, dan normative. Karena pandangan hidup Islam tidak bersifat dikotomis.
Kemudian, bagaimana caranya mengIslamisasi Ilmu? SMN Al Attas mengemukakan dua cara dalam melakukan islamisasi ilmu. Pertama, mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat (pengandalan akal; bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; sekularisme; membela doktrin humanism; menjadikan drama dan tragedy sebagai unsure dominan dalam fitrah manusia). Pengisoliran ilmu dari unsure-unsur barat menjadi penting karena segala hal yang tidak sesuai dengan pandangan Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Kedua, Memasukkan unsure-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant[24].
Islamisasi Ilmu akan menciptakan sebuah Ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga dapat menjadi solusi bagi problematika peradaban manusia. Ketika Islam menjadi sebuah worldview maka ia bersifat universal sehingga dapat digunakan oleh pemeluk agama manapun tanpa adanya rasa tertekan ataupun takut. Pengetahuan akan menentukan peradaban. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa membangun peradaban berarti membangun pengetahuan. Pengetahuan yang tidak holistic dan komprehensif nyatanya hanya akan menciptakan peradaban yang labil dan bersifat sarat akan keraguan-raguan. Hasilnya? keragua-raguan ditutup-tutupi dengan relativisme dan pluralisme yang tidak jelas maksud dan tujuan serta basis filosofisnya.
Dalam Islam, sejauh apapun pikiran berkelana, wahyu tetap menjadi obor di kegelapan dan rumah sebagai tempat perlindungan dan kembali. Al Quran sangat sarat dengan konsep. Konseptualisasi wahyu-wahyu telah melahirkan ilmu-ilmu yang bermanfaat seperti fiqih, tafsir hadis, falak, tabi’ah, hisab, dsb. Inilah sebenar-benarnya ilmu, yaitu ilmu yang menyederhanakan masalah dengan solusi yang sesuai dengan fitrah manusia. Ilmu dalam Islam berarti mengetahui dan mengamalkan. Tidak seperti Barat yang menganut Pluralistic Approach, cukup mengetahui tak perlu diaplikasikan. Pendekatan Pluralistik seakan-akan mirip munafik.
Hubungan Internasional dalam Kerangka Islam
Bagian ini berbicara mengenai konsep Hubungan Internasional menurut pandangan Islam. Hegemoni pemikiran Barat telah menimbulkan suatu opini bahwa Studi Hubungan Internasional terfokus pada dunia Barat saja. Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini akan memaparkan pemikiran atau pandangan perpolitikan Islam mengenai Studi Hubungan Internasional. Konsep Hubungan Internasional menurut Islam akan dijelaskan dengan menggunakan landasan normative dan landasan praktis yang digunakan para pemikir politik Islam.
            Hubungan internasional dalam Islam berlandaskan pada dua sumber utama yaitu:
  1. Sumber Normatif Tertulis (Al-Quran dan Hadits)
Wahai manusia, Aku jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengarifi. Sesungguhnya yang termulia diantara kamu adalah yang paling baik takwanya kepada Allah (Al Quran, Al Hujarat: 14)
  1. Sumber Praktis (Perilaku umat Islam berdasarkan sejarah)
Kemuliaan manusia (Karomah Insaniyah), Ummat yang Satu (ummatan Wahidah), Kerjasama antar ummat manusia(Ta’awun), Toleransi (Tasaammuh), Huriyyah (kemerdekaan kemanusia), Kemerdekaan beragama, Keadilan (Adalah), Pengakuan yang sama (kesamaan hak, deajat), Perdamaian, Kasih sayang
            Dalam konteks Islam, kajian hubungan internasional termasuk dalam Fiqh al siyar wa Al-Jihad (hukum internasional tentang damai dan perang). Kajian internasional pertama kali berkembang dibawa oleh Imam Abu Hanifah abad ke-8. Kemudian diteruskan oleh Imam Malik (716-795 dgn karya Al Muwaththa), Muhammad Al Syaibani (748-804) dg karyanya Al Siyar al Kabir dan Al Siyar Al Shaghir.[25]
Dasar Hubungan Internasional berdasarkan Al-Quran
1.      Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang yang tidak memerangi kamu dan mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS: Muhammad, 8)
2.      Jika mereka cenderung pada perdamaian maka berdamailah, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS: Al Anfal, 61)
3.      Mempererat persaudaraan dan perdamaian
4.      Peperangan diizinkan dalam keadaan terpaksa
5.      Mengajak orang kepada Islam dengan cara yang humanis dan sesuai hukum yang berlaku
6.      Tidak memaksakan agama kepada pihak lain
7.      Menghormati pakta-pakta perjanjian yang telah disepakati
Etika berperang dalam Islam
“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang (Islam) yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.  Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.  Mereka diusir dari kampung halaman mereka sendiri (dan diperangi karena) mereka berkata Tuhan kami Allah”
            Muhammad Iqbal menyatakan etika berperang menurut pandangan Islam berdasarkan Hadist riwayat Muslim (dalam Buku Shohih Muslim juz 2) antara lain:
1.      Perang dilandasi ketakwaan pada Allah bukan kepentingan duniawi
2.      Yang diperangi adalah orang kafir yang memusuhi Islam
3.      Transparan terhadap rampasan perang
4.      Berkhianat dan lari dari peperangan diharamkan dan termasuk dosa besar
5.      Diharamkan membunuh secara kejam
6.      Diharamkan membunuh anak-anak, perempuan dan orang jompo
7.      Bagi orang non Islam (yang berada dibawah kekuasaan Islam) dan tidak memusuhi Islam: diberi tiga tawaran: masuk Islam, bayar jizyah, atau diperangi (dijatuhi hukuman)
Bentuk Negara dalam Islam
  • Dar Islam

            Menurut Abu Yusuf dan Al Kisani Dar Islam berarti negara yang menerapkan hukum Islam walaupun penduduknya mayoritas bukan Islam[26]. Sedangkan menurut Sayid Quthb Dar Islam adalah negara yang menerapkan hukum Islam baik penduduknya muslim atau bukan. Dilain pihak, pandangan Ilmuwan saat ini mengenai Dar Islam adalah negara yang mayoritas pendudukunya muslim dan pemimpinnya muslim.
  • Dar Al Ahdi

            Prof. Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa Dar al Ahdi adalah negara/wilayah yang tidak berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memberlakukan hukum Islam tetapi memiliki perjanjian damai dengan negara-negara Islam sehingga dia tidak memusuhi negara-negara Islam. Kaum Muslimin yang tinggal dinegara ini dijamin keselamatannya
  • Dar Al Harbi

            Dar al Harbi menurut Imam Abu Yusuf adalah sebuah negara yang dikuasai atau diperintah oleh orang bukan Islam sehingga hukum-hukum Islam tidak berlaku di negara itu, dan tidak memiliki perjanjian dengan negara Islam sehingga keamanan kaum Muslimin tidak terjamin di negara itu[27].
Hubungan Diplomatik
            Dalam kaedah Islam, landasan hubungan Internasional adalah perdamaian. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang setia pada perjanjian. Sebelum konvensi Wina (Pakta Perdamaian 1961), Nabi Muhammad telah membuat perjanjian damai yaitu Perjanjian Hudaibiyah. Berikut adalah konsep dalam hubungan diplomatik menurut Islam:
1.      Menghormati duta asing
2.      Boleh menahan duta asing sebagai tindak balas dan menjamin keselamatan duta sendiri
3.      Pentingnya membentuk Korp Diplomatik untuk perundingan dengan negara asing walaupun negara itu Dar al Harb
4.      Menempatkan Korp Diplomatik keluar negara dan menerima penempatan Korp Diplomati asing disesuaikan dengan keadaan dan keperluan (tidak wajib)
            Berdasarkan sudut pandang sejarah baik dari Riwayat, Al Quran, maupun sumber-sumber atau literature yang lain mengenai perpolitikan islam, dapat dilihat bahwa Negara Islam yang ketika itu dipimpin oleh Muhammad dan setelah itu oleh para Khalifah Ar Rasyidin telah banyak melakukan atau menjalin hubungan internasional terhadap negara lain di luar islam. Perjanjian Hudaybiah, Baiat Aqabah I dan II, Piagam Madinah, dll merupakan bentuk pakta-pakta perjanjian internasional yang dirumuskan oleh pemerintahan negara Islam saat itu.[28]
Islam memiliki konsep tersendiri terhadap Hubungan Internasional. Bahkan secara praktis, sejak masa pemerintahan Muhammad dan Khalifah Ar Rasyidin, para elit-elit pemerintahan negara Islam telah menjalankan konsep-konsep penting dalam Hubungan Internasional seperti Perang, Kebijakan Luar Negeri, Hubungan Diplomasi, dll. Penulis memandang perlunya netralitas dan objektivitas dalam mengkaji Studi Hubungan Internasional dari aspek regionalnya.
Simpulan
Tulisan ini telah menunjukkan bagaimana Islamic Worldview hadir sebagai pilihan terdepan dalam mengatasi permasalahan peradaban manusia. Konsep ilmu dan makna Islam sebagai agama telah mencerahkan kita betapa pentingnya pertimbangan nilai-nilai dan pertimbangan empiris dan normative dalam pengetahuan. Wahyu sebagai sumber kebenaran dan sumber hukum telah menjadikan pandagan Islam memiliki ciri khasnya tersendiri dan bahkan menguatkannya dari basis filosofisnya.
Mengapa Barat dinilai menciptakan kebingungan bagi pembentukan peradaban maupun bagi Studi Hubungan Internasional? Apa yang telah penulis angkat sebelumnya telah menunjukkan bahwa basis filosofis dari epistimologi Worldview Barat tidak kuat. Hal ini disebabkan karena ia terlalu bersifat subjektif, bahkan sofis. Hal ini mengakibatkan kemutlakan dalam kebenaran pengetahuan menurut Barat masih menjadi kerancuan yang menimbulkan kebingungan-kebingungan bagi penggunanya.
Kuatnya basis filosofis ini menjadikan Islam semakin eksis mengcounter liberalisme dan westernisasi. Selain itu juga Hubungan Internasinal menurut Islam bukanlah sebuah hal yang besar, namun, sederhana, karena ia merupakan salah satu bagian kecil dari Islamic Worldview. Islam memiliki konsep dan pandangan sendiri terhadap Hubungan Internasional dan ciri khas filosofisnya yang kuat dapat mendukung posisinya sebagai salah satu teori HI non barat yang dinilai mampu mengatasi kebingungan-kebingungan dari Worldview Barat yang pada kenyataannya salah dari basis filosofisnya sendiri.



Rujukan
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC
Anesti Firda Amalia, Shandy Dwi Fernandi, dan Mohammad Indra. 2012. Konsep Ilmu dan Makna Islam sebagai Agama. Tugas Perkuliahan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Budi Yuwono, Ilmuwan Islam Pelopor Sains Modern (Jakarta: Pustaka Qalami, 2005).
Fukuyama, Francis.1992. The End of History and the Last Man. Free Press
Hamid Fahmy Zarkasyi. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta Selatan: INSISTS.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York, Simon & Schuster.
Husaini, Adian Dari Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam (Catatan untuk 7 Tahun INSIST), http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=108:dari-tradisi-ilmu-ke-peradaban-islam-catatan-untuk-7-tahun-insists&catid=1:adian-husaini. Diakses pada 7 Mei 2014.
____________. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-LIberal. Jakarta: Gema Insani Press.
____________. 2007. Konsep Islam sebagai Agama Wahyu. Jurnal Islamia. Jakarta: INSISTS.
____________. 2009. Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta: INSISTS.
___________________. Membangun Peradaban Islam dengan Pengetahuan. Jakarta: INSISTS.
Iqbal, Muhammad Fiqih. 2001. Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Ivanko, Epistemologi Barat dan Epistemologi Al-Jabiri, diakses melalui http://ivanko.wordpress.com/2008/11/20/epistemologi-barat-dan-epistemologi-al-jabiri/ diakses pada 8 Mei 2014.
Kant, Immanuel. 2007. Perpetual Peace. Minneapolis: Filiquarian Publishing, LLC.
Machiavelli, Niccolo. 2006. Translated by W.K Marriot. The Project Gutenberg; Machiavelli, Niccolò (1958), "The Prince", Machiavelli:The Chief Works and Others 1. Translated by Allan Gilbert
Scott Burchill dan Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relations. New York: ST Martin’s Press, INC
Thomas Hobbes. 2010. Leviathan. London: Yale University Press.
Thucydides. 431 B.C. The History of Peloponnesian War. Diterjemahkan oleh Richard Crawly.
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy.
Alquran
Al Baqarah ayat 1-5 dan 23.
Al Mujadalah Ayat 11.
Al Zumar Ayat 9



[1] Diambil dari pembukaan pada Tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta Selatan: INSISTS. Hal. xxviii.
[2] Aksiologi adalah cabang Ilmu Filsafat yang mempelajari tentang kegunaan suatu pengetahuan serta bagaiamana pengetahuan tersebut diaplikasikan.
[3] Sejak 1919 sampai dengan tahun 2014, Perang baik internal maupun antar aktor internasional masih terus terjadi. Lihat data statistik di: The Polynational War Memorial. Wars Since 1900. Pada http://www.war-memorial.net/wars_all.asp?sorted=yasc&q=3 diakses 5 mei 2014.
[4] Lihat Thucydides. 431 B.C. The History of Peloponnesian War. Diterjemahkan oleh Richard Crawly.
[5] Lihat Thomas Hobbes. 2010. Leviathan. London: Yale University Press.
[6] Lihat Niccolo Machiavelli. 2006. Translated by W.K Marriot. The Project Gutenberg; Machiavelli, Niccolò (1958), "The Prince", Machiavelli:The Chief Works and Others 1. Translated by Allan Gilbert
[7] Immanuel Kant. 2007. Perpetual Peace. Minneapolis: Filiquarian Publishing, LLC.
[8] Francis Fukuyama.1992. The End of History and the Last Man. Free Press
[9] Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York, Simon & Schuster.
[10] Lihat Scott Burchill dan Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relations. New York: ST Martin’s Press, INC
[11] Ibid. Hal. 67.
[12] Lihat Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-LIberal. Jakarta: Gema Insani Press.
[13]Adian Husaini, Dari Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam (Catatan untuk 7 Tahun INSIST), http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=108:dari-tradisi-ilmu-ke-peradaban-islam-catatan-untuk-7-tahun-insists&catid=1:adian-husaini. Diakses pada 7 Mei 2014.
[14] Anesti, dkk. 2012. Konsep Ilmu dan Makna Islam sebagai Agama. Tugas Perkuliahan. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 4.
[15]  Ivanko, Epistemologi Barat dan Epistemologi Al-Jabiri, diakses melalui http://ivanko.wordpress.com/2008/11/20/epistemologi-barat-dan-epistemologi-al-jabiri/ diakses pada 8 Mei 2014.
[16] Baca Surat Al Mujadalah Ayat 11. Dalam Surat Al Zumar ayat 9 juga dikatakan “ Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Hanya orang-orang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran”
[17] Budi Yuwono, Ilmuwan Islam Pelopor Sains Modern (Jakarta: Pustaka Qalami, 2005), hal. 166.
[18] Adian Husaini. 2007. Konsep Islam sebagai Agama Wahyu. Jurnal Islamia. Jakarta: INSISTS. Hal. 2.
[19] Hamid Fahmy Zarkasyi. Op.Cit. Hal. 128
[20] Anesta, Dkk. Op.Cit. Hal. 10.
[21] AlBaqarah ayat 1-5 dan 23.
[22] Anesta, Dkk. Op. Cit. Hal. 12.
[23] Adian Husaini. 2009. Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta: INSISTS. Hal. 4.
[24] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, hal. 313
[25] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001. Hal 215
[26] Ibid. Hal 222
[27] Ibid
[28] Ibid Hal 242

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEPSEN PAMIT : Kesan Pesan Demisioner LSMI Almadani 2019

Mereka yang Berhijrah tanpa Menyentuh Bangku Pesantren