“Marilah
kita meletakkan skenario hepotesis: Jika kekuasaan Islam tidak dilemahkan dan
jika ekonomi negara-negara Islam tidak dihancurkan, dan jika stabilitas politik
tidak diganggu,dan jika para ilmuwan
Muslim diberi stabilitas dan kemudahan dalam waktu 500 tahun lagi, apakah mereka akan gagal mencapai apa yang
telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler dan Newton? Model-model planetarium
Ibn al-Shatir dan astonomer-astonomer Muslim yang sekualitas Copernicus dan yang telah mendahului
mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistim heliosentris dapat diproklamirkan
oleh saintis Muslim, jika komunitas mereka terus eksis dibawah skenario
hepotesis ini. Ahmad Y al-Hassan”
Islamic
Worldview dan
Studi Hubungan Internasional
: Jawaban Terhadap “Kebingungan
Filosofis” Barat
Abstact
This
paper describes “Islamic Worldview” as a comprehensive and critical thought
toward West Paradigm/Thought. The failure of West on creating civilized
civilization (showed by some cases such as: double standart politics of United
States, Liberalism, Materialism, Secularism, and Democracy, double standard
implementation of Human Right and unconsistency of West Thought itself on
describing nature and beyond). The critics is started by questioning the
philosophical basis of West epistemology and what it cause to Human
Civilization. After that, I will describes the Islamic Worldview on seeing the
International Relations as a philosophical science. The existence of Islamic
Worldview (on Political Tought) strengthen the Non-western Theory position on Internatonal
Relations Studies. I even would say that Islamic Worldview can be an answer and
solution on understanding the International Relations and World Civilization.
Keyword: Islamic Worldview, West Worldview,
Liberalism, Epistimology, International Relations, Non-western Theory. Civilization
Pendahuluan
Seorang
mahasiswa menulis di tembok kampusnya: “yang permanen adalah perubahan”. Esok
harinya, mahasiswa lain menorehkan tanda kali pas di tengah tulisan itu,
sebagai tanda penolakan, Lusanya, mahasiswa yang cerdas menulis di tembok yang
sama tepat di bawah tulisan yang sebelumnya: “yang berubah tidak pernah
permanen”.
Di tempat lain, seorang
liberal-ateis menulis kalimat di sebuah tembok kampus filsafat: “Tuhan telah
mati, kata Nietzsche”. Mahasiswa yang tidak setuju dan marah menulis komentar:
“yang nulis goblok”. Tapi esoknya, mahasiswa cerdas menorehkan coretan di
bawahnya: “Niettzsche telah mati, kata Tuhan”.[1]
Tulisan ini dapat
dimaknai sebagai apa yang dilakukan oleh mahasiswa cerdas di dua cerita unik
sebelumnya. Islamic Worldview dalam
kerangka teoritis dan komprehensif hadir saat ini sebagai bentuk sintesis dari
dialektika paham sekularisme pada era post-modernisme dan beberapa paham
sekularistik lainnya. Tulisan yang ada di hadapan pembaca sekalian merupakan
sebuah critical analysis terhadap
pemikiran Barat dalam memandang dunia sebagai sebuah worldview. Arah dari tulisan ini sebetulnya ingin membawa pembaca pada sebuah
pemahaman bahwa Worldview Barat yang sangat “mesra” dengan Sekularisme sejak
kelahirannya hingga sekarang gagal menjadi solusi bagi pembangunan peradaban
yang beradab. Islam pun hadir sebagai Worldview yang komprehensif dan baik dari segi manapun.
Dari masa ke masa
doktrin dan budaya paganism senantiasa terus bermetamoforsa dan bersenyawa
dengan rasa manusia. Kemajuan Barat pun ikut melegitimasi menuntut perubahan
segala hal yang berbau non-Barat, termasuk Islam. Islam tidak dipandang lagi dari
sisi teologi, namun telah menjadi ranah filsafat, dan bahkan telah digeser ke
“rumah-rumah” ilmu sosial. Hal ini menyebabkan terjadinya pengikisan pemahaman
Islam yang komprehensif sebagai “Rahmatan Lil Alamin” segi aksiologi[2].
Lalu apa
masalahnya dengan Studi HI dan Worldview Barat? Jawaban ada pada saat
pertama kalinya Hubungan Internasional didirikan sebagai institusi akademik
resmi tahun 1919, di Aberyswith, Inggris. Studi HI didirikan sesungguhnya untuk
mengenalkan pada dunia tentang bahayanya sebuah perang serta bagiamana mencegah
terjadinya peperangan di dunia. Namun, sejak kelahirannya hingga saat ini,
Studi HI yang didominasi oleh pemikiran Barat dinilai tidak mampu mencegah
perang dan mengatasi masalah-masalah kemanusiaan[3].
Tulisan ini pada bagian akhir akan menjelaskan Islamic Worldview dalam
memandang Hubungan Internasioal sebagai salah satu instrumen pembangun
peradaban.
Kemudian apa
yang menjadi kebingungan bagi Worldview Barat khususnya dalam memandang
Hubungan Internasional? Kebingungan ini bisa dimulai dari pandangan Thucydides[4]
mengenai sejarah Perang Peloponesia dimana Hubungan Internasional didominasi
oleh penindasan negara power besar terhadap negara power kecil.
Thomas Hobbes[5],
seorang Realis Klasik yang menyematkan predikat homo homini lupus bagi
manusia yang selalu pesimis terhadap nilai-nilai kebaikan manusia
dan juga Niccolo Machiaveli[6]dari
Italia yang menyamakan manusia dengan Singa dan Rubah. Kemudian, juga kebingungan Idealisme Klasik bawaan
Immanuel Kant[7],
yang “bermimpi” untuk menciptakan “Perpetual Peace” di tengah-tengah
maraknya peperangan yang terjadi. Kebingungan ini pun berlanjut ke arah
pemikiran Strukturalis dan Marxis yang dibawa oleh Robert Gilpin, Habermas, dll
ketika perdamaian dunia “dinodai” oleh penindasan terhadap kelas bawah (dari
segi struktur sosial) dan Negara-negara Dunia Ketiga (dari segi struktur
internasional). Akan tetapi “Revolusi” yang ditawarkan oleh aliran Strukturalis
dan Marxis juga tidak memberikan solusi karena sampai saat ini paham
sosialis-komunis telah meredup sempena dengan lahirnya tulisan “The End of
History” karya Francis Fukuyama[8]
dan “Clash of Civilization” karya Samuel P. Huntington[9].
Perjalanan
panjang ini pun kemudian akhirnya melahirkan kebingungan baru saat munculnya
sejumlah Worldview Barat yang juga baru seperti pandangan
Post-Modernisme, Kosmopolitanise, dan Universalisme[10].
Globalisme dan Regionalisme juga turut andil dalam membahas peradaban manusia.
Paham-paham ini senada dengan para English School yang mengemukakan
bahwa seluruh manusia di dunia itu berada dalam satu kesatuan “International
Society” sehingga harus ada norma yang satu, nilai yang satu, dan hukum
yang satu. Sepintas ini terlihat meyakinkan dan menjanjikan perdamaian. Namun
sekali lagi pandangan ini tidak pernah mencapai titik idealnya. Rumit dan
kompleksnya identitas di seluruh dunia hanya menjadikan paham ini menempati
posisi “Utopis” dalam kancah Worldview. Worldview yang dilahirkan oleh
Barat secara epistimologinya seolah-olah menjauhkan kita dari ruang kebenaran
tersebut. Apapun nama dan bentuknya (dimulai dari realis, idealis,
strukturalis, konstruktivis, dan sebagainya) masih menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan.
Pandangan-pandangan
Barat yang ada saat ini terus menimbulkan kebingungan-kebingungan yang baru
yang selalu mempertanyakan “Apakah memang dunia (hubungan internasional) selalu
konfliktual dan berperang?; Mengapa
perdamaian selalu dinodai oleh standar ganda para kesatria-kesatria Demokrasi
itu sendiri? Kalaulah memang Studi HI didirikan untuk menciptakan perdamaian
dunia, mengapa justru kebenaran-kebenaran HI secara epistimologi dan aksiologi
selalu dipatahkan oleh intrik politik penguasa?” Bahkan Martin Wight menulis
sebuah essay yang berjudul “Why There is no International Theory?”
untuk menunjukkan kebingungannya dalam memahami Worldview
dan Teori dalam Hubungan Internasional.
Tantangan Worldview Barat bagi Islam
Infiltrasi budaya Barat
dengan agama telah mengubah kemutlakan Islam menjadi suatu hal yang bersifat
relative sehingga boleh-boleh saja untuk di pertanyakan kembali keasliannya.
Hal ini tentu wajar bagi kita jika Barat sangat bersemangat karena dari segi
historisnya memang Barat pernah mengalami trauma terhadap agama, lebih tepatnya
pada otoritas gereja yang pada saat itu terbukti menyalahi nilai-nilai kemanusiaan.
Trauma massif ini melahirkan Renaissance, sebagai bentuk pencerahan terhadap
umat manusia yang merasa disiksa oleh agama (Kristen dan otoritas gereja)
mencipatakan tiga kelompok dalam memandang agama. Pertama, ingkar kepada Tuhan
saja (ateis), ingkar pada Agama saja
(infidel) dan ada yang menolak
pengetahuan tentang Tuhan secara eksistensiNya sekaligus (agnostic atau ragu-ragu)[11].
Agama dipandang sebagai hal yang dibenci karena mengekang kebebasan, termasuk
Islam yang oleh Barat sampai saat ini dipandang sebagai musuh, baik secara
pemikiran maupun secara politik[12].
Inilah yang menjadi
latar belakang mengapa Barat melakukan liberalisasi di segala lini. Dimulai
dari budaya, politik, ekonomi, identitas, bahkan agama. Perjalanan liberalisasi
agama bukanlah perjalanan yang tergolong singkat. Ia juga melalui banyak proses
dan dialektika. Perjalanan ini diawali dengan paham paganis dan kemudian
bermetamorforsa menjadi materialisme. Pasca abad pertengahan, materialisme
berkembang menjadi rasionalisme dan liberalisme. Rasionalisme melahirkan
pandangan ateisme, kemudian mendukung sofisme yang melahirkan pluralisme dan
sekularisme. Liberalisme menjadi induk dari setiap postulat-postulat yang
keluar dari rahim pemikiran Barat.
Klaim hegemoni
pemikiran Barat sebagai worldview tentu
tidak serta-merta menjadi paham yang paling dominan menyatakan kebenarannya.
Kuatnya dasar filosofis Islam sebagai agama rahmat melahirkan sebuah
konseptualisasi yang filosofis namun tetap menyentuh akar-akar permasalahan
umat manusia. Islamic Worldview secara
basis filosofis dan asal-usulnya telah ada sejak ajaran Islam diturunkan. Namun
ia dihadir dalam kerangka akademis oleh cendikiawan-cendikiawan muslim yang
masih memegang kuat nilai-nilai Islam tanpa infiltrasi dari paham manapun,
terutama Barat.
Adian Husaini, salah
seorang Intelektual Islam muda menyatakan: “Seseorang dapat menjadi manusia
beradab jika memiliki ilmu (knowledge) yang
benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan
tujuannya jika dibangun diatas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak
mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan”[13].
Pernyataan ini menguatkan pandangan bahwa diperlukannya sebuah konsistensi akan
landasan keilmuan yang mendasar. Jika kita kaitkan dengan tradisi keilmuan
Islam, maka hal pertama yang menjadi sangat penting adalah keyakinan atas
konsep ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ (Tauhid) dalam Islam serta mengikuti segala
ketetapan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Islamic Worldview menekankan tauhid
(berpegang teguh pada Alquran dan Hadis) sebagai landasan dalam berpikir.
Penulis menggunakan Islamic Worldview dalam memandang
beberapa poin penting dalam tradisi keilmuan dan peradaban. Hal tersebut
diantaranya: landasan filosofis, sumber ilmu pengetahuan, epistimologi ilmu,
aplikasi, dan peradaban sebagai produk pengetahuan. Tulisan ini berusaha
menempatkan Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang telah menjadi solusi bagi
permasalahan-permasalahan manusia, yang mana, Barat sebagai worldview tidak mampu menempati posisi
itu, bahkan ia mendirikan posisi baru yang secara keilmuan masih dipertanyakan
keotentikannya.
Basis Filosofis Islamic
Worldview
Ilmu
pengetahuan dari sudut filsafat memiliki cabang tersendiri. Terdapat tiga aspek
diantaranya ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ontologi membahas mengenai
“apa” yang dipelajari serta apa kaitannya terhadap manusia. Kemudian,
epistimologi, membahas tentang segala kemungkinan bagaimana pengetahuan didapat,
apa itu kebenaran? dan hal-hal apa yang perlu dipahami untuk mendapatkan illmu
yang benar?. Terakhir, aksiologi, mengkaji untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu digunakan?[14]
Berdasarkan
pernyataan ini dapat dipahami bahwa filsafat bisa dimaknai sebagai ilmu yang
mengkaji tentang sebuah kebenaran. Kebenaran ini dicapai melalui penelitian (research). Riset yang baik berarti harus
memiliki landasan filosofis yang jelas sehingga pembenaran yang diciptakan
bermafaat bagi kehidupan manusia. Filsafat seakan memiliki posisi tertinggi
dari segala sesuatu yang mengusahakan konstruksi kebenaran. Sehingga wajar saja
jika agama ‘turun derajatnya’ menjadi objek kajian dari filsafat.
Namun,
eksistensi dan kontinuitas agama yang berada dalam naungan filsafat tidak
mengalami kesulitan dalam memberikan pemahaman tentang kebenaran. Islam sendiri
sebagai “Rahmatan Lil Alamin” membuktikan sebutannya ini. Jika filsafat
memiliki epistimologi dan metodologi dalam melihat dan mencari kebenaran, Islam
pun memiliki metodologi dan epistimologinya tersendiri. Kebenaran menurut Islam
bukanlah suatu hal yang dicari-cari, atau bahkan dibuat-buat. Ia sudah
diturunkan dalam bentuk yang sempurna. Islam tidak pernah menyatakan bahwa
kebenaran ada pada Tuhan, namun Islam menyatakan bahwa “kebenaran datang dari
Allah (Tuhan)” sehingga manusia tidak perlu lagi mencari-cari dimana, siapa,
dan apa-apa tentang kebenaran akan Tuhan karena Tuhan sendirilah yang
mendatangkan kebenaran tersebut. Lalu apakah kebenaran dari Tuhan adalah benar
adanya? Kebenaran tentang ini dapat kita dapat dengan mempelajari
ciptaan-ciptaanya. Dan ini dijawab dengan lugas oleh metodologi dalam versi
Islam.
Pertama,
Epistimologi Islam. Pertanyaan bagaimana proses untuk mendapatkan pengetahuan,
serta tentang eksisitensi kebenaran itu sendiri dijawab dengan menggunakan prinsip
“Tauhid”. Epistimologi Islam mengkaji asal-usul atau sumber dari Islam tentunya
secara ilmiah. Dengan berlandaskan Tauhid sebagai paradigma dasar, maka
Epistimologi Islam bersumberkan pada Alquran dan Sunnah. Selain itu juga
pemikir-pemikir Islam menggunakan Observasi, Percobaan Empiris, dan Alasan
Kemanusiaan dalam mengakaji Alquran dan Sunnah. Humanisme yang oleh Barat lahir
pada Abad 19 awal ternyata sudah lama ditandzilkan Allah dalam Alquran.
Legitimasi Islam dalam membicarakan Humanisme tentu lebih besar dibandingkan
pemikiran Barat.
Kemudian,
bagaimana dengan Metodologi dalam Islam? Islam memiliki tiga sistem metodologi
berfikir menurut Al Jabiri. Metodologi tersebut adalah Bayani, Irfani, dan
Burhani[15].
Sistem Bayani dilandaskan pada nash (Alquran
dan Hadis) yang ada baik secara
langsung maupun tidak langsung, melalui proses penafsiran dan pengkajian
asbabun nudzul. Kemudian, ada sistem Irfani yang tidak bergantung pada nash namun ia bersandar pada
terungkapnya rahasia-rahasia kebesaran Tuhan yang hanya didapatkan oleh nurani
manusia sehingga dikemukaan secara logis kepada manusia lainnya
(pengalaman-pengalaman spiritual). Dan terakhir, sistem Burhani, ia tidak
bersandar pada teks, namun menggunakan kekuatan rasio dan akal yang logis. Ia bersandar
pada pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Islam
tidak memisahkan pengetahuan dari agama. Islam mengakui segala pengetahuan baik
yang berasal dari wahyu, ataupun dari akal. Islam bahkan sangat menghargai
ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat Alquran berisi perintah kepada Manusia
untuk berilmu. Banyak juga ayat-ayat Alquran yang menempatkan orang-orang
berilmu sebagai orang yang besar dan beruntung karena derajatnya yang
ditinggikan[16].
Landasan ini telah banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam yang berkontribusi
besar dalam membangun peradaban. Sebut saja Al-Khawarizmi yang menciptakan
angka decimal sehingga manusia dalam menulis bilangan tiga ribu tiga ratus tiga
puluh delapan dengan menggunakan angka “3838” tidak akan sesulit menulis “MMMDCCCXLVIII”
yang merupakan huruf Romawi bentukan Barat yang rumit dan bertele-tele.
Bayangkan jika kita
masih menggunakan angka Romawi, tentu peradaban manusia tidak akan maju-maju.
Bukti ke empiris-normatifan pemikiran Islam sebagai motivasi agama dapat
dicontoh dari Al-Khawarizmi yang menemukan angka decimal berdasarkan pada
keinginannya untuk menyelesaiakan persoalan hukum warisan dan hukum jual beli[17].
Selanjutnya juga banyak terdapat ilmuwan-ilmuwan Islam lain yang berhasil
membanguna peradaban manusia kepada kemajuan dengan tanpa melakukan pemisahan
Agama dan Pengetahuan seperti Ibn Sina, seorang ahli kedokteran yang telah
menghasilkan ratusan jilid tulisan pengetahuan tentang Ilmu Kedokteran,
Filsafat, Geometri, Astronomi, Musik, Seni, dan lain-lain. Karya-karya pemikir
Islam ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin dan disebarkan ke seluruh
penjuru Barat. Ini berarti bahwa Barat dahulu pernah meniru pemikiran Islam.
Pada intinya, secara
basis filosofisnya, Islam sebagai Worldview
tidak diragukan lagi keotentikan dan keilmiahannya sebagai ilmu pengetahuan
pemebentuk peradaban. Ilmu menurut Barat tidak seperti Ilmu menurut Islam yang
memiliki maksud dan tujuan. Sedangkan Barat yang telah menggugat cerai manusia
dari Tuhan, dan wahyu dari sumber ilmu tidak memiliki tujuan dan maksud. Ia
membebaskan ilmu dari itu, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sehingga saat ini
secara filosofis pemikiran-pemikiran Barat banyak menciptakan
kontroversi-kontroversi yang mengotak-atik permasalahan manusia menjadi semakin
rumit dan kompleks.
Konfrontasi
Pemikiran Islam dan Pemikran Barat
Islamic Worldview tidak hanya hadir
sebagai pemecah masalah dan penyaluran solusi bagi peradaban manusia. Dengan
bermodalkan basis filosofis yang kuat ia juga telah mengkritik Barat dari
berbagai sisi. Kritik tersebut diantaranya ialah kritik terhadap epistimologi
Barat, realtivisme, dan skeptisisme.
Pertama,
kritik terhadap Barat dari segi epistimologi. Metodologi Barat yang lahir pada
zaman Yunani kuno adalah metodologi yang abstrak dan bersifat hiptesistik. Ia
menggunakan pembentukan dan pengujian hipotesis namun menolak asumsi
filosofisnya sehingga tidak memiliki maksud dan tujuan. Ia tidak mengenal wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan Eropa yang mengklaim bahwa
metodologinya lebih terbuka, akurat, tepat, dan objektif serta netral. Namun
klaim ini hanya sebatas pengamatan saja. Tidak ada pemraktekan sehingga tidak
ada komitmen dan konsistensi dalam tradisi ilmu bangsa Barat.
Alquran
sangat komprhensif dalam membahas tentang ilmu pengetahuan. Ia menggabungkan
pengamatan empiris dengan normatif sehingga tidak tejadi tumpang tindih antara
penerapan dan pengamatan. Alquran membebaskan manusia dari segala keragu-raguan
(tidak perlu hipotesis), membebaskan pikiran dari ketergantungan intelektual
dan hawa nafsu. Perkara hukum dapat dilihat berdasarkan wahyu yang telah
diturunkan. Untuk mencari tahu kebenarannya, dapat digunakan pengamatan empiris
dan pertimbangan normatif. Alquran sebetulnya telah menyediakan
fasilitas-fasilitas yang memudahkan manusia melalui prinsip-prinsip umum yang
dapat digunakan dalam mencari pengetahuan.
Ziaudin
Sardar menyebutkan sembilan ciri dasar epistimologi Islam yang tidak dimiliki
Barat, antara lain:
1. Didasarkan pada suatu kerangka pedoman
yang mutlak.
2. Bersifat aktif, bukan pasif.
3. Objektivitas adalah perkara umum, bukan
pribadi
4. Bersifat deduktif sebagian besarnya
5. Perpaduan antara pengetahuan dan
nilai-nilai Islam
6. Pengetahuan adalah saran inklusif
7. Adanya komitmen dalam tradisi keilmuan
8. Memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif, sedemikian
rupa sehingga konsep-konsep
dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus
sesuai dengan tingkat lainnya.
9. Tidak bertentangan dengan pandangan
holistik.
Wahyu
sebagai hukum dasar dalam pemikiran Islam menjelaskan bahwa kebenaran
sebetulnya sudah ada dan datang dari Tuhan sendiri. Pernyataan ini kemudian
dikuatkan dengan asumsi bahwa apa yang diwahyukan merupakan suatu hal yang
orisinil dan tidak memiliki kemiripan dengan satu hal manapun di dunia. Ia
langsung dari Tuhan lewat perantara Malaikat Jibril. Begitu juga dengan Islam
sebagai agama wahyu. Hal ini menguatkan pandangan bahwa selain Islam tidak ada
agama lain yang terbukti keorisinilan basis-basis utamanya. Berikut adalah
bukti-bukti Islam sebagai agama wahyu yang satu-satunya ada di dunia[18]:
1. Diantara
agama-agama yang ada,
hanya Islam-lah yang
namanya secara khusus disebutkan
dalam Kitab Sucinya. Nama agama-agama selain Islam diberikan oleh para pengamat keagamaan
atau oleh manusia,
seperti agama Yahudi
(Judaisme), agama Katolik (Katolikisme), agama
Protestan (Protestantisme), agama
Budha (Budhisme), agama
Hindu (Hinduisme), agama
Konghucu (Konfusianisme), dan
sebagainya. Sedangkan Islam
tidaklah demikian. Nama Islam, sebagai nama sebuah agama yang diturunkan
kepada Nabi Muhamamd saw, sudah
disebutkan ada dalam a-Quran: "Sesungguhnya agama
yang diridhai oleh
Allah adalah Islam."
(QS 3:19). "Barangsiapa yang
mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti
akan termasuk orang-orang yang merugi." (QS 3:85).
2. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat
yang khas dan tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain.
3. Dalam
soal ritual, Islam
saat ini masih tetap menikmati ritual
yang satu, karena bersumber
dari dasar yang
sama, yaitu Al-Qur‘an dan
Sunnah. Umat Islam tidak mengalami
persoalan untuk shalat
di Masjid mana saja.
Umat Islam takbir dengan cara
yang sama; membaca
Al-Fatihah yang sama,
ruku‘ dengan cara yang sama; sujud
dengan cara yang
sama, dan seterusnya.
Ritual Islam ini
tidak tunduk kepada budaya atau perubahan sejarah.
Ciri khas epistimologi
Islam inilah yang menjadi kekurangan dan celah besar bagi epistimologi Barat
yang tidak bersumber dan bersifat inkomitmen. Sehingga wajar saja jika pada
abad pertengahan terjadi masa kegelapan dimana otoritas gereja mengakibatkan
trauma besar bagi Barat saat itu.
Kedua, kritik terhadap
Relativisme dan Skeptisisme. Relativisme dan Skeptisisme lahir dari rahim
Sofisme pada zaman Yunani kuno. Sofisme menganggap semua kebenaran adalah relatife.
Slogan “semua adalah relative” terkenal sebagai slogan generasi postmodernist di Barat. Ia bagaikan
firman tanpa Tuhan dan sabda tanpa Nabi. Seperti Undang-undang tapi tanpa
penguasa[19].
Baik buruk, benar salah, sopan tidak sopan, porno tidak porno telah kehilangan
batasannya. Semua karena relatif menurut pandangan masing-masing dan
kesepakatan mayoritas.
Skeptisisme dan
Relativisme bak dua orang saudara yang kembar tapi beda. Skeptisisme selalu
mempertanyakan kebenaran yang ada, sedangkan Relativisme menganggap benar semua
pendapat yang ada. Seorang yang skeptic akan meragukan kebenarannya dan
membenarkan keraguannya. Kebenaran menjadi bias, semua pun dipertanyakan.
Layaknya kisah seorang Yahudi yang mempertanyakan perintah Tuhannya untuk
berqurban dengan pertanyaan yang mengada-ada dan berbelit-belit.
Relativisme dari
sejarahnya lahir dari kebencian pemikir Barat modern terhadap agama. Barat yang
trauma terhadap agama membenci dengan sangat sesuatu yang mutlak dan mengikat.
Namun, kebencian tidak akan pernah melahirkan kearifan dan kebenaran. Dari sini
kita dapat melihat ada yang salah dari basis filosofis pemikiran Barat. Tak ada
lagi Sophia atau kebijaksanaan dalam
filsafat Barat karena ia bersumber dari kebencian. Kebencian terhadap agama pun
kemudian melebar menjadi keinginan untuk menguasi agama tersebut. Senjatanya
ialah pluralisme dan ateisme. Pluralisme agama diklaim berada di atas
agama-agama. Kemudian ini melahirkan “Global
Theology” dan Transcendent Unity of
Religions. Merasa benar menjadi makruh, merasa paling benar menjadi haram.
Tidak merasa benar dan tidak apa salah (ragu-ragu) menjadi sebuah kebijaksanaan
dan kearifan. Pantas saja jika saat ini muncul gerakan-gerakan “ngaur” seperti
LGBT, Kesetaraan Gender, dan Pluralisme Agama.
Al Qur‘an melarang asal
ikut-ikutan, prasangka dan keinginan pribadi. Dalam hidup ini manusia
selalu dihadapkan pada dua pilihan, akan
tetapi selalu ada celah diantara dua pilihan tersebut yang
membuat manusia ragu-ragu. Islam mengajarkan
manusia untuk meninggalkan hal yang
ragu-ragu dan memilih hal yang kita benar-benar yakini[20].
Seperti
yang disebutkan dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari; “Tinggalkan
apa-apa yang kau
ragukan, kepada apa
yang tidak kau
ragukan. Janganlah kamu berburuk
sangka, karena berburuk
sangka itu, ialah
sedusta dustanya percakapan.” Dan hadits yang diriwayatkan
At-Tirmidzy; “Kerjakan apa yang tidak kau
ragu-ragukan, sesungguhnya kebenaran itu membawa ketenangan, dan dusta itu
menimbulkan keragu- raguan.”.
Alquran sendiri telah
menyatkan dalam Surat Al Baqarah bahwa tidak ada keraguan padanya. Kemudian
juga dikatakan di dalamnya bahwa manusia dipersilakan mencari tandingan Alquran
dengan sesuatu yang lain[21].
Lagi-lagi Islam menjawab problematika.
Dari ayat
tersebut terlihat bahwa mempertanyakan kebenaran
yang ada pada Al-Quran
dan Sunnah sebagai hukum dasar
dari pengetahuan Islam tidak sesuai dengan tradisi keilmuan
Islam. Ayat diatas
telah menyebutkan jika
Allah adalah benar dan
Al-Qur‘an yang merupakan
wahyu dari Allah
pastilah benar, mempertanyakan
hal tersebut dilarang oleh agama.
Dalam berbagai
kesempatan Allah mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua
pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab)
dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu
(kadzib), bagus (hasanah)
dan jelek (sayyi`ah),
lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah) dan masih banyak hal lainnya yang harus ditentukan sendiri oleh
manusia. Segala hal yang ditetapkan oleh Allah telah jelas mana yang baik dan
mana yang buruk,
tidak ada celah
untuk mempertanyakan keadaan
yang ada diantaranya karena hukum
Allah adalah mutlak. Semuanya itu
mengajarkan kepada manusia bahwa kebenaran
itu ada dan mungkin untuk diraih melalui cara-cara yang sesuai dengan
syariat Islam[22].
Islamisasi
Ilmu dan Membangun Peradaban
Hegemoni
Westernisasi dengan nilai-nilai liberal dan secular merupakan tantangan nyata
bagi kaum Muslim. Kalimat ini telah dilontarkan sebelumnya oleh Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib al-Attas sebagai bentuk peringatan kepada kaum muslimin untuk
berhati-hati. Namun banyak intelektual muda Islam yang mengabaikannya sehingga
keadaan menjadi semakin sulit. Terjadi liberalisasi dimana-mana. Pakaian, gaya
hidup, budaya, makanan, bahkan agama dan pendidikan pun tak tinggal. Islamic Worldview kemudian hadir sebagai
obat penawar racun liberalism Barat.
Westenisasi
ilmu telah meresahkan kita. Lebih lagi ketika Westernisasi masuk ke dalam
tubuh-tubuh institusi pendidikan di Indonesia. Masih teringat kita pada
kejadian dimana seorang alumnus fakultas syariah IAIN Semarang menerbitkan
tulisannya yang berjudul Agama, Seks, dan Moral. Singkat cerita, buku ini
menghalalkan praktek seks bebas dengan atas nama sama-sama suka. Orang boleh
melakukan seks bebas jika dilandaskan pada alasan yang demokratis. Selanjutnya
juga terjadi kecaman terhadap MUI yang mengusulkan Rancangan UU tentang
Pornografi dan Pornoaksi dengan alasan bahwa ini memperlihatkan kelemahan iman
muslimin Indonesia. Selanjutnya, tak kalah hebohnya, ialah tulisan “cover
story” di majalah resmi IAIN Semarang dengan berjudul “ Indahnya Pernikahan
Sesama Jenis”. Jurnal ini melecehkan Al Quran dan mendapat izin terbit di
kawasan kampus. Ini menandai bahwa liberalisasi atau weternisasi pendidikan
telah merasuk secara structural di Indonesia.
Bagaikan
virus, westernisasi menodai pendidikan di Indonesia. Dalam liberalisasi keilmuan
Islam, dilakukan proses
penghancuran otoritas
keilmuan terhadap para
ulama Islam. Posisi ulama
Islam disamakan dengan posisi kaum orientalis. Padahal, ada
perbedaan yang sangat
mendasar dalam konsep
pengakuan otoritas keilmuan, antara Islam dengan Barat. Islam memasukkan
unsur iman dan akhlak dalam
penentuan otoritas keilmuan
seseorang. Dalam Islam,
seorang ulama harus berilmu
tinggi dan sekaligus berakhlak mulia. Jika ada ulama yang bejat moralnya
atau tukang bohong, maka dia tidak patut
dijadikan sebagai sumber
ilmu. Konsep keilmuan seperti
ini tidak berlaku
di Barat. Seorang
ilmuan hanya diukur
berdasarkan kecerdasannya; bukan
moralnya. Banyak ilmuwan
Barat yang tetap
dijadikan rujukan dalam keilmuan
dan kehidupan, meskipun perilakunya bejat[23].
Prof SMN Al Attas yang
juga concern terhadap hal ini
menawarkan sebuah konsep yang sama persis namun berbeda dari segi
fundamentalnya. Penawar virus itu bernama Islamisasi Ilmu. Apa itu Islamisasi
Ilmu? Secara sederhana, Islamisasi Ilmu berarti memasukkan nilai-nilai dan
paham Islam ke dalam tubuh ilmu. Jika Ilmu tidak bebas nilai dan ia sarat
nilai, maka dengan mengislamisasi ilmu dapat menjadi solusi yang efektif dan
efisien.
Islamisasi Ilmu
bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Ia harus berlandaskan pada “Tauhid”
sehingga perlunya komitmen kuat dengan melandaskan wahyu sebagai sumber
pengetahuan. Selain itu juga prinsip dasar dalam islamisasi ilmu harus bersifat
“menyatukan” sehingga ia tidak memisahkan antara objektivitas, subjetivitas,
historis, dan normative. Karena pandangan hidup Islam tidak bersifat dikotomis.
Kemudian, bagaimana
caranya mengIslamisasi Ilmu? SMN Al Attas mengemukakan dua cara dalam melakukan
islamisasi ilmu. Pertama, mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang
membentuk budaya dan peradaban Barat (pengandalan akal; bersikap dualistik
terhadap realitas dan kebenaran; sekularisme; membela doktrin humanism;
menjadikan drama dan tragedy sebagai unsure dominan dalam fitrah manusia).
Pengisoliran ilmu dari unsure-unsur barat menjadi penting karena segala hal
yang tidak sesuai dengan pandangan Islam, maka fakta menjadi tidak benar.
Kedua, Memasukkan unsure-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap
bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant[24].
Islamisasi Ilmu akan
menciptakan sebuah Ilmu yang sesuai dengan fitrah
manusia sehingga dapat menjadi solusi bagi problematika peradaban manusia.
Ketika Islam menjadi sebuah worldview maka
ia bersifat universal sehingga dapat digunakan oleh pemeluk agama manapun tanpa
adanya rasa tertekan ataupun takut. Pengetahuan akan menentukan peradaban. Maka
dapat diambil kesimpulan bahwa membangun peradaban berarti membangun
pengetahuan. Pengetahuan yang tidak holistic dan komprehensif nyatanya hanya
akan menciptakan peradaban yang labil dan bersifat sarat akan keraguan-raguan. Hasilnya?
keragua-raguan ditutup-tutupi dengan relativisme dan pluralisme yang tidak
jelas maksud dan tujuan serta basis filosofisnya.
Dalam Islam, sejauh
apapun pikiran berkelana, wahyu tetap menjadi obor di kegelapan dan rumah
sebagai tempat perlindungan dan kembali. Al Quran sangat sarat dengan konsep.
Konseptualisasi wahyu-wahyu telah melahirkan ilmu-ilmu yang bermanfaat seperti fiqih, tafsir hadis, falak, tabi’ah, hisab, dsb.
Inilah sebenar-benarnya ilmu, yaitu ilmu yang menyederhanakan masalah dengan
solusi yang sesuai dengan fitrah manusia.
Ilmu dalam Islam berarti mengetahui dan mengamalkan. Tidak seperti Barat yang
menganut Pluralistic Approach, cukup
mengetahui tak perlu diaplikasikan. Pendekatan Pluralistik seakan-akan mirip
munafik.
Hubungan
Internasional dalam Kerangka Islam
Bagian ini
berbicara mengenai konsep Hubungan Internasional
menurut pandangan Islam. Hegemoni pemikiran Barat telah menimbulkan suatu opini
bahwa Studi Hubungan Internasional terfokus pada dunia Barat saja. Oleh karena
itu, penulis dalam kesempatan ini akan memaparkan pemikiran atau pandangan
perpolitikan Islam mengenai Studi Hubungan Internasional. Konsep Hubungan
Internasional menurut Islam akan dijelaskan dengan menggunakan landasan
normative dan landasan praktis yang digunakan para pemikir politik Islam.
Hubungan
internasional dalam Islam berlandaskan pada dua sumber utama yaitu:
- Sumber
Normatif Tertulis (Al-Quran dan Hadits)
“Wahai
manusia, Aku jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengarifi. Sesungguhnya
yang termulia diantara kamu adalah yang paling baik takwanya kepada Allah (Al
Quran, Al Hujarat: 14)”
- Sumber
Praktis (Perilaku umat Islam berdasarkan sejarah)
Kemuliaan manusia
(Karomah Insaniyah), Ummat
yang Satu (ummatan Wahidah), Kerjasama
antar ummat manusia(Ta’awun), Toleransi
(Tasaammuh), Huriyyah
(kemerdekaan kemanusia), Kemerdekaan
beragama, Keadilan (Adalah), Pengakuan yang sama
(kesamaan hak, deajat), Perdamaian, Kasih sayang
Dalam
konteks Islam, kajian hubungan internasional termasuk dalam Fiqh al siyar wa Al-Jihad (hukum
internasional tentang damai dan perang). Kajian internasional pertama kali
berkembang dibawa oleh Imam Abu Hanifah abad ke-8. Kemudian diteruskan oleh
Imam Malik (716-795 dgn karya Al Muwaththa), Muhammad Al Syaibani (748-804) dg
karyanya Al Siyar al Kabir dan Al Siyar Al Shaghir.[25]
Dasar
Hubungan Internasional berdasarkan Al-Quran
1. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil kepada orang yang tidak memerangi kamu dan mengusirmu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS:
Muhammad, 8)
2. Jika mereka cenderung pada perdamaian
maka berdamailah, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Ia Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui (QS: Al Anfal, 61)
3. Mempererat persaudaraan dan perdamaian
4. Peperangan diizinkan dalam keadaan
terpaksa
5. Mengajak orang kepada Islam dengan cara
yang humanis dan sesuai hukum yang berlaku
6. Tidak memaksakan agama kepada pihak lain
7. Menghormati pakta-pakta perjanjian yang
telah disepakati
Etika
berperang dalam Islam
“Telah
diizinkan berperang bagi orang-orang (Islam) yang diperangi karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.
Mereka diusir dari kampung halaman mereka sendiri (dan diperangi karena)
mereka berkata Tuhan kami Allah”
Muhammad
Iqbal menyatakan etika berperang menurut pandangan Islam berdasarkan Hadist
riwayat Muslim (dalam Buku Shohih Muslim juz 2) antara lain:
1. Perang
dilandasi ketakwaan pada Allah bukan kepentingan duniawi
2. Yang
diperangi adalah orang kafir yang memusuhi Islam
3. Transparan
terhadap rampasan perang
4. Berkhianat
dan lari dari peperangan diharamkan dan termasuk dosa besar
5. Diharamkan
membunuh secara kejam
6. Diharamkan
membunuh anak-anak, perempuan dan orang jompo
7.
Bagi orang non
Islam (yang berada dibawah kekuasaan Islam) dan tidak memusuhi Islam: diberi
tiga tawaran: masuk Islam, bayar jizyah, atau diperangi (dijatuhi hukuman)
Bentuk
Negara dalam Islam
- Dar Islam
Menurut
Abu Yusuf dan Al Kisani Dar Islam berarti negara yang menerapkan hukum Islam
walaupun penduduknya mayoritas bukan Islam[26].
Sedangkan menurut Sayid Quthb Dar Islam adalah negara yang menerapkan hukum
Islam baik penduduknya muslim atau bukan. Dilain pihak, pandangan Ilmuwan saat
ini mengenai Dar Islam adalah negara yang mayoritas pendudukunya muslim dan
pemimpinnya muslim.
- Dar Al Ahdi
Prof.
Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa Dar al Ahdi adalah negara/wilayah yang
tidak berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memberlakukan hukum Islam tetapi
memiliki perjanjian damai dengan negara-negara Islam sehingga dia tidak
memusuhi negara-negara Islam. Kaum Muslimin yang tinggal dinegara ini dijamin
keselamatannya
- Dar Al Harbi
Dar
al Harbi menurut Imam Abu Yusuf adalah sebuah negara yang dikuasai atau
diperintah oleh orang bukan Islam sehingga hukum-hukum Islam tidak berlaku di
negara itu, dan tidak memiliki perjanjian dengan negara Islam sehingga keamanan
kaum Muslimin tidak terjamin di negara itu[27].
Hubungan
Diplomatik
Dalam
kaedah Islam, landasan hubungan Internasional adalah perdamaian. Hal ini
sejalan dengan prinsip Islam yang setia pada perjanjian. Sebelum konvensi Wina
(Pakta Perdamaian 1961), Nabi Muhammad telah membuat perjanjian damai yaitu
Perjanjian Hudaibiyah. Berikut adalah konsep dalam hubungan diplomatik menurut
Islam:
1. Menghormati duta asing
2. Boleh menahan duta asing sebagai tindak
balas dan menjamin keselamatan duta sendiri
3. Pentingnya membentuk Korp Diplomatik
untuk perundingan dengan negara asing walaupun negara itu Dar al Harb
4. Menempatkan Korp Diplomatik keluar
negara dan menerima penempatan Korp Diplomati asing disesuaikan dengan keadaan
dan keperluan (tidak wajib)
Berdasarkan
sudut pandang sejarah baik dari Riwayat, Al Quran, maupun sumber-sumber atau
literature yang lain mengenai perpolitikan islam, dapat dilihat bahwa Negara
Islam yang ketika itu dipimpin oleh Muhammad dan setelah itu oleh para Khalifah
Ar Rasyidin telah banyak melakukan atau menjalin hubungan internasional
terhadap negara lain di luar islam. Perjanjian Hudaybiah, Baiat Aqabah I dan
II, Piagam Madinah, dll merupakan bentuk pakta-pakta perjanjian internasional
yang dirumuskan oleh pemerintahan negara Islam saat itu.[28]
Islam memiliki konsep
tersendiri terhadap Hubungan Internasional. Bahkan secara praktis, sejak masa
pemerintahan Muhammad dan Khalifah Ar Rasyidin, para elit-elit pemerintahan
negara Islam telah menjalankan konsep-konsep penting dalam Hubungan
Internasional seperti Perang, Kebijakan Luar Negeri, Hubungan Diplomasi, dll.
Penulis memandang perlunya netralitas dan objektivitas dalam mengkaji Studi
Hubungan Internasional dari aspek regionalnya.
Simpulan
Tulisan ini telah
menunjukkan bagaimana Islamic Worldview hadir
sebagai pilihan terdepan dalam mengatasi permasalahan peradaban manusia. Konsep
ilmu dan makna Islam sebagai agama telah mencerahkan kita betapa pentingnya
pertimbangan nilai-nilai dan pertimbangan empiris dan normative dalam
pengetahuan. Wahyu sebagai sumber kebenaran dan sumber hukum telah menjadikan
pandagan Islam memiliki ciri khasnya tersendiri dan bahkan menguatkannya dari
basis filosofisnya.
Mengapa Barat dinilai
menciptakan kebingungan bagi pembentukan peradaban maupun bagi Studi Hubungan
Internasional? Apa yang telah penulis angkat sebelumnya telah menunjukkan bahwa
basis filosofis dari epistimologi Worldview
Barat tidak kuat. Hal ini disebabkan karena ia terlalu bersifat subjektif,
bahkan sofis. Hal ini mengakibatkan kemutlakan dalam kebenaran pengetahuan
menurut Barat masih menjadi kerancuan yang menimbulkan kebingungan-kebingungan
bagi penggunanya.
Kuatnya basis filosofis
ini menjadikan Islam semakin eksis mengcounter
liberalisme dan westernisasi. Selain itu juga Hubungan Internasinal menurut
Islam bukanlah sebuah hal yang besar,
namun, sederhana, karena ia merupakan salah satu
bagian kecil dari Islamic Worldview. Islam
memiliki konsep dan pandangan sendiri terhadap Hubungan Internasional dan ciri
khas filosofisnya yang kuat dapat mendukung posisinya sebagai salah satu teori
HI non barat yang dinilai mampu mengatasi
kebingungan-kebingungan dari Worldview Barat yang pada kenyataannya
salah dari basis filosofisnya sendiri.
Rujukan
Al-Attas, Syed
Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC
Anesti Firda
Amalia, Shandy Dwi Fernandi, dan Mohammad Indra. 2012. Konsep Ilmu dan Makna
Islam sebagai Agama. Tugas Perkuliahan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Budi Yuwono,
Ilmuwan Islam Pelopor Sains Modern (Jakarta: Pustaka Qalami, 2005).
Fukuyama, Francis.1992.
The End of History and the Last Man. Free Press
Hamid Fahmy
Zarkasyi. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan
Islam. Jakarta Selatan: INSISTS.
Huntington,
Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New
York, Simon & Schuster.
Husaini, Adian
Dari Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam (Catatan untuk 7 Tahun INSIST),
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=108:dari-tradisi-ilmu-ke-peradaban-islam-catatan-untuk-7-tahun-insists&catid=1:adian-husaini.
Diakses pada 7 Mei 2014.
____________.
2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-LIberal.
Jakarta: Gema Insani Press.
____________.
2007. Konsep Islam sebagai Agama Wahyu. Jurnal Islamia. Jakarta: INSISTS.
____________.
2009. Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta: INSISTS.
___________________.
Membangun Peradaban Islam dengan Pengetahuan. Jakarta: INSISTS.
Iqbal, Muhammad
Fiqih. 2001. Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Gaya Media
Pratama, Jakarta.
Ivanko,
Epistemologi Barat dan Epistemologi Al-Jabiri, diakses melalui
http://ivanko.wordpress.com/2008/11/20/epistemologi-barat-dan-epistemologi-al-jabiri/
diakses pada 8 Mei 2014.
Kant, Immanuel.
2007. Perpetual Peace. Minneapolis: Filiquarian Publishing, LLC.
Machiavelli, Niccolo.
2006. Translated by W.K Marriot. The Project Gutenberg; Machiavelli, Niccolò
(1958), "The Prince", Machiavelli:The Chief Works and Others 1.
Translated by Allan Gilbert
Scott Burchill
dan Andrew Linklater. 1996. Theories of International Relations. New York: ST
Martin’s Press, INC
Thomas Hobbes.
2010. Leviathan. London: Yale University Press.
Thucydides. 431
B.C. The History of Peloponnesian War. Diterjemahkan oleh Richard Crawly.
Wan Mohd Nor Wan
Daud, The Educational Philosophy.
Alquran
Al Baqarah ayat
1-5 dan 23.
Al Mujadalah
Ayat 11.
Al Zumar Ayat 9
[1] Diambil dari
pembukaan pada Tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta
Selatan: INSISTS. Hal. xxviii.
[2] Aksiologi
adalah cabang Ilmu Filsafat yang mempelajari tentang kegunaan suatu pengetahuan
serta bagaiamana pengetahuan tersebut diaplikasikan.
[3] Sejak 1919
sampai dengan tahun 2014, Perang baik internal maupun antar aktor internasional
masih terus terjadi. Lihat data statistik di: The Polynational War Memorial. Wars
Since 1900. Pada http://www.war-memorial.net/wars_all.asp?sorted=yasc&q=3 diakses 5
mei 2014.
[6] Lihat Niccolo
Machiavelli. 2006. Translated by W.K Marriot. The Project Gutenberg;
Machiavelli, Niccolò (1958), "The Prince", Machiavelli:The Chief
Works and Others 1. Translated by Allan Gilbert
[9] Huntington, Samuel
P.
1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New
York, Simon & Schuster.
[10] Lihat Scott
Burchill dan Andrew Linklater. 1996. Theories
of International Relations. New York: ST Martin’s Press, INC
[11] Ibid. Hal. 67.
[12] Lihat Adian Husaini.
2005. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekuler-LIberal. Jakarta: Gema Insani Press.
[13]Adian Husaini, Dari
Tradisi Ilmu ke Peradaban Islam (Catatan untuk 7 Tahun INSIST), http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=108:dari-tradisi-ilmu-ke-peradaban-islam-catatan-untuk-7-tahun-insists&catid=1:adian-husaini. Diakses pada 7 Mei
2014.
[14] Anesti, dkk. 2012. Konsep Ilmu dan Makna Islam sebagai Agama. Tugas
Perkuliahan. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 4.
[15] Ivanko, Epistemologi Barat dan Epistemologi
Al-Jabiri, diakses melalui http://ivanko.wordpress.com/2008/11/20/epistemologi-barat-dan-epistemologi-al-jabiri/ diakses pada 8 Mei
2014.
[16] Baca Surat Al
Mujadalah Ayat 11. Dalam Surat Al Zumar ayat 9 juga dikatakan “ Apakah sama,
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Hanya
orang-orang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran”
[17]
Budi Yuwono, Ilmuwan Islam Pelopor Sains Modern
(Jakarta: Pustaka Qalami, 2005), hal. 166.
[18] Adian Husaini. 2007. Konsep Islam sebagai Agama Wahyu. Jurnal
Islamia. Jakarta: INSISTS. Hal. 2.
[19] Hamid Fahmy Zarkasyi.
Op.Cit. Hal. 128
[20] Anesta, Dkk. Op.Cit. Hal. 10.
[21] AlBaqarah ayat 1-5
dan 23.
[22] Anesta, Dkk. Op. Cit. Hal. 12.
[23] Adian Husaini. 2009. Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta:
INSISTS. Hal. 4.
[24]
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, hal. 313
[25]
Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001. Hal 215
[26] Ibid. Hal 222
[27] Ibid
[28] Ibid Hal 242
Komentar
Posting Komentar