Kembalinya Imam Musholla

“Pernahkah kau bahagia
karena kehilangan?
 Aku pernah!”

Jika kesetiaan yang menjaga cinta, itulah membuatku mampu bertahan. Bahkan menjadi renta bersama waktu, takkan membuatku mengalah pada keadaan. Seperti biasa, aku selalu menanti kedatangannya, untuk bercerita kepadaku tentang kehidupan yang kian mengkhawatirkan. Kadang, dia berapi-api menuturkan kisahnya yang seharian dia alami, maka dengan penuh semangat aku menjadi pendengar yang paling setia untuknya. Tetapi, setelah kuhitung dengan bilangan tasbih, dia lebih banyak menangis daripada tertawa. Kisah apa pun yang dibawa, aku bahagia bisa mendengarkannya. Tak elak lagi, aku telah jatuh cinta padanya.

Sudah sepuluh menit kumenanti. Namun, dia tak jua kunjung datang. Aku menatap ke arah pintu, tak satu pun suara langkah datang menghampiri ruangan tua ini. Padahal, ini sudah masuk waktunya untuk dia dan penduduk kampung ini menemaniku, menghambakan diri kepada sang penggenggam nyawa. Akhirnya aku mendengar suara langkah memasuki ruangan, dengan penuh harap menanti kedatangannya. Aku merasa kehilangan setelah yang kusaksikan bukanlah dia, seluruh tubuh terasa sengal, aku kecele. Hanya ada tiga laki-laki,  dua orang nampak  berumur tiga puluh tahunan, sedangkan yang satu lagi masih terlihat remaja.
Setelah selesai melaksanakan ibadah tadi, mereka meninggalkanku tanpa sepatah kata. Sangat jauh berbeda dengan dia yang selama ini selalu mengajakku bercerita, dia juga begitu sangat perhatian terhadapku, sebelum beranjak pergi, terlebih dahulu dia mengecup ubun-ubunku, aku selalu merasakan sisa-sisa air mata yang masih melekat di pipinya. Dia lelaki paling romantis yang aku kenal. Itu mengapa sebabnya aku sangat menantikan setiap kedatangannya.
“Aku mencintaimu karena Allah,” itu ucapnya kala pertemuan kami tiga hari yang lalu. Aku tersenyum hebat, belum pernah merasakan indahnya dicintai karena Allah. Hanya dia yang mengutarakan itu. Aku merasa tersanjung.
“Tapi, ke mana dia sekarang? takkah dia tahu rinduku telah menggunung?” aku bertanya pada diri sendiri. Melihat tempat biasa dia duduk dan menjejakkan kaki adalah salah satu cara mengobati kerinduan terhadapnya. Dia memang sudah tua, bahkan jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Tapi karena cinta aku menilai itu hal biasa saja.
“Apakah dia sudah melupakanku?” aku terus berbisik untuk mengusik tanya yang diriku sendiri tak tahu siapa yang akan menjawabnya. Sedangkan di ruangan ini hanya ada aku yang terbaring. Menatap jam tua yang tergantung di atasku.
“Sudah tiga puluh menit, dia tak kunjung datang” tuturku datar. Aku berusaha menahan air mata, jangan sampai kesedihan membuatku lupa pada segalanya. Barangkali dia ada pekerjaan di luar kampung ini.  Sehingga tak bisa menemaniku melewati saat-saat terindah bersama.
Sebelum malam melucuti cahaya senja, biasanya dia sudah tiba menemaniku. Banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Menyapu ruangan, menyeka mimbar kayu yang sudah melapuk dimakan rayap, atau membacakanku siroh nabawiyah, kisah-kisah Rasulullah dan para sahabat. Bila selesai melakukan itu, maka dia akan melanjutkan dengan mengaji, meski pun suaranya tidak begitu merdu, namun kedatangannya sudah membuat bangunan ini menjadi hidup. Dia terkadang sesegukan melafalkan huruf-huruf hijaiah, seperti ada penyesalan di raut wajahnya.
Aku begitu merasa kesepian, dialah biasanya menjadi imam kami, ketika bersujud serendah-rendahnya untuk menghambakan diri kepada yang maha setinggi-tinggiNya. Namun sampai detik ini aku tak tahu harus bertanya kepada siapa, ada sekeping rasa gundah di hatiku. Apakah setiap penantian harus dilewati dengan kegelisahan? Atau apakah aku yang terlalu mendramatisir suasana? Entahlah. Yang kumau saat ini adalah bersentuhan fisik dengannya. Menyatukan jiwa dan berbagi duka, itu saja sudah cukup untukku yang kini telah usang.
Ternyata, menunggu membuatku terasa lelah, namun semangatku untuk kedatangannya belum mencapai kata akhir.
“Aku harus tetap terjaga, mungkin dia akan datang untuk melaksanakan qiyamul lail” aku terus mencoba menghibur diri jangan sampai terlelap disaat dia datang. Jika dia datang lalu pergi tanpa memberitahuku, maka akan menyisahkan sesal terdalam dicatatan sejarah hidup, dan aku tak mau itu terjadi. Namun perjuanganku akhirnya terkatung-katung, sudah begitu lelah. Aku kalah.
Aku terjaga ketika mendengar suara detik-detik jarum jam melaksanakan titah Tuhan, menunjukkan kepadaku bahwa satu detik terlewati tak akan pernah berulang kembali. Waktu telah berada pada sepertiga malam, inilah masanya Tuhan melihat siapa hambaNya yang terjaga lalu bermunajat padaNya dalam ibadah beberapa rakaat. Inilah waktu mustajab untuk berdoa, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan. “Ya… Allah, demi setiap nyawa yang ada dalam genggamanMu, berkahilah umurnya dan pertemukan kami sebelum bumi memisahkan, Ya Robb, sentuhlah hatinya dengan kerinduan ini, bimbinglah jiwanya agar mau datang lagi, amin.”
Tepat jam lima kurang seperempat, aku sudah terjaga. Sebentar lagi waktu subuh akan tiba. Tetapi tak seorang pun yang berada di sampingku. Memang tempatku ini berada di hulu desa, sedangkan penduduk sudah ramai yang pindah ke hilir. Mungkin karena merasa jauh, jadi hanya sedikit yang mau beribadah di sini, bahkan semenjak Pak Imam itu pergi, tempat ini betul-betul terasa mati. Padahal, jika semua menyadari bahwa perjalanan ke tempat ini adalah ladang dari segala amalan. Bukankah Tuhan telah menjanjikan? Bahwa setiap langkah kaki kanan akan mendatangkan pahala, sedangkan setiap langkah kaki kiri akan menghapus dosa-dosa kecil.
Prasangkaku benar, sampai matahari setengah hasta, tak seorang pun datang ke sini. “Mungkin semua kelelahan bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan dunianya”. Aku terus membatin. Orang yang kunanti tak jua ada kabar, membuatku semakin nelangsa. Ini sudah masuk hari keempat aku tak bersua dengannya. Padahal ingin sekali aku mendengar cerita-ceritanya. Banyak pesan moral yang dia sampaikan kepadaku, setidaknya aku bisa menarik benang merah sebagai amanat dari ceritanya. Pesan begitu mendalam melalui ceritanya Ba’da sholat subuh kemarin. tepatnya seminggu yang lalu.
“Terkadang sebuah penyesalan selalu datang berulang-ulang, namun satu hal yang perlu kita ingat adalah untuk apa kita melakukan penyesalan yang ingin kita lakukan berulang-ulang?”
Aku sangat kagum kepadanya, semakin berumur dia kian bersyukur. Tak pernah Pak Imam mengeluh atas sesuatu yang tak pernah ia miliki. Berbeda dengan beberapa orang yang bercerita di sampingku menyesali sesuatu yang pergi darinya. Apakah itu orang yang dicintai maupun terhadap benda-benda dunia. Pak Imam mampu menerjemahkan kata-kata ini dengan baik, Allah tidak memberikan apa yang kita pinta, tetapi Allah memberikan apa yang kita butuhkan. Itu sebabnya dia tidak begitu tergila-gila dengan kehidupan dunia.
Ketakutan pada dosa-dosa menjadi rindu tertinggi untuk Tuhannya. Tercenung dalam doa adalah upacara rutin sebelum dia beranjak pergi. Selaiknya sebuah elegi yang penuh pusa jiwa membawa tangis pecah penuh lenguh. Ia tidak sedang nyanyuk, memang gigis badan lebih hebat daripada isaknya. Inilah makna kembali. Terkadang timbul girah dalam hatiku. Begitu hebat cara dia mengeluarkan air mata. Inilah arti dari tafakur. Hidup dipenuhi kebatan taubat.
Di saat matahari sepenggalan naik, terdengar riuh orang menuju ke tempat ini. Aku berusaha mendongak untuk melihat keadaan di luar, tetapi takdir tidak bisa membuatku berbuat lebih, Aku hanya pasrah dalam pembaringan menanti kabar apa yang telah terjadi.
“Pak Imam telah kembali…” Sorak anak lelaki yang berlari melintas di depan pintu.
“Apa?” aku terkesiap. Akhirnya kesedihan tak lagi terngiang di telinga. Aku kembali sumringah, Dia memang lelaki yang setia memenuhi janji. Terima kasih ya Allah, Engkau mengijabah doaku tidak lebih dari enam jam.
Tetapi mengapa seramai ini suara ke arahku. Apa masyarakat telah melangsungkan kenduri? atau ada yang melahirkan? tanyaku terus mengawang-ngawang. Akhrinya tanyaku tersingkap bersama derai air mata. Setelah mendengar penuturan seorang lelaki setengah baya kepada masyarakat yang hadir di ruangan ini.
“Pak Imam telah kembali, dia memenuhi panggilan Allah  dengan cara yang suci. Anakku menemukannya, di ujung kebun dengan posisi badan bersujud. Sebentar lagi mayatnya akan tiba, mari kita sholatkan bersama-sama.” Ucapnya dengan kata-kata yang basah. Tapi tidak lebih kuyub dari kubangan mataku.
Tidak berapa lama, datanglah empat orang pemuda dengan mengangkat keranda ke dalam ruangan ini, dan langsung meletakkan tepat sejengkal dari tempatku terbaring. Tak elak lagi, mataku telah membentuk perigi. Merebas. Aku ingin melihat wajahnya yang terakhir, sebelum bumi mendekapnya. Tapi, tak seorang pun yang mendengar bahasaku. Akhirnya sakit ini pun ikut membumi.
Hanya dalam hitungan menit saja, ruangan ini penuh. Sesak dengan masyarakat yang terus berdatangan, ada yang hanya ingin melayat, tetapi kebanyakan datang untuk melaksanakan sholat jenazah. Aku sadar, beginilah cara Allah memuliakan hambanya, mensucikan kekasihnya. Jadi teringat kata-kata Pak Imam ini,
 “Orang menjadi besar bukan dari kata-katanya, melainkan kata-katalah yang menjadikannya besar.”

Pak Imam telah meninggalkanku dalam usang, aku bersumpah kepada Allah. Bahwa di akhirat nanti, aku akan menjadi saksi untuk Pak Imam. Dialah yang senatiasa menemaniku dalam sentuhan-sentuhan sujud, luapan peluh-peluh ibadah. Inillah kehilangan yang membuatku bahagia, bagaimana tidak? rindu yang menanti adalah surga. Selamat jalan Pak Imam, kini kau benar-benar kembali. Kupercaya, takdir akan mentautkan kita dalam reuni di surgaNya nanti. Hanya doa ini yang bisa kulakukan untukmu, karena aku hanyalah sajadah usang.
***
(Goresan Tangan Yudi Muchtar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEPSEN PAMIT : Kesan Pesan Demisioner LSMI Almadani 2019

Mereka yang Berhijrah tanpa Menyentuh Bangku Pesantren